Peran Tubuh dalam Perspektif Sosio-Religius dalam Puisi “Benang-Benang Ibu”
Sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi yang mencerminkan kebudayaan dan nilai-nilai masyarakat. Dalam konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), sastra tidak hanya menjadi wadah untuk menyampaikan pesan, tetapi juga menjadi cerminan dari tradisi, adat istiadat, dan spiritualitas masyarakat setempat. Salah satu karya sastra yang menarik untuk dianalisis adalah puisi berjudul “Benang-Benang Ibu” karya Erich Langobelen. Puisi ini menggambarkan hubungan antara tubuh manusia dengan budaya tenun ikat, serta makna religius yang terkandung di dalamnya.
Profil Penulis
Erich Langobelen lahir di Lewoleba, Lembata, dan telah menempuh pendidikan di berbagai institusi pendidikan seperti SMP St. Pius X Lewoleba dan SMA di Seminari San Dominggo Hokeng. Saat ini, ia sedang menempuh studi di STFK Ledalero dan aktif dalam komunitas Sastra Teater Tanya Ritapiret. Karyanya sering dimuat di berbagai media seperti Flores Pos, SKH Pos Kupang, Jurnal Sastra Santarang, serta Antologi Puisi Sastrawan NTT. Buku pertamanya, Luna, diterbitkan pada tahun 2015, dan ia sedang menyiapkan buku kedua yang berjudul Tanduk Hitam Kemarau.
Konsep Ekskursi Penulis
Dalam teori ekskursi penulis yang dikemukakan oleh Roland Barthes, setelah sebuah karya sastra selesai ditulis, penulis dianggap mati. Ini berarti bahwa setiap pembaca bebas untuk menafsirkan karya sesuai dengan perspektif mereka sendiri. Dalam konteks ini, puisi “Benang-Benang Ibu” tidak hanya menyampaikan pesan dari penulis, tetapi juga memberi ruang bagi pembaca untuk memahami makna secara lebih mendalam. Makna yang terkandung dalam puisi dapat berubah tergantung pada latar belakang dan pengalaman pembaca.
Analisis Puisi
Puisi “Benang-Benang Ibu” menggambarkan perjalanan hidup seseorang melalui metafora benang dan jahitan. Dalam bait pertama, Erich menyebutkan bahwa ibunya adalah seorang penjahit, yang kemudian menjahit dirinya dan saudara-saudaranya. Metafora ini merujuk pada proses kelahiran dan pembentukan diri, yang dalam budaya NTT memiliki makna penting. Tenun ikat, yang merupakan warisan budaya Lembata, digunakan sebagai simbol dari proses pembentukan identitas.
Bait kedua menggambarkan ketidaksempurnaan identitas manusia. Benang-benang yang tersisa hitam dan putih menggambarkan bagian-bagian dari diri yang belum sepenuhnya terbentuk. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan diri tidak selalu sempurna dan memerlukan waktu serta pengalaman.
Di bait ketiga, Erich kembali membahas proses kelahiran, kali ini dengan fokus pada rasa sakit dan pengorbanan. Meski penyiksaan itu menyakitkan, namun sangat bermakna karena membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Dalam bait ini, Erich juga menggambarkan pentingnya didikan dan bimbingan ibu dalam membentuk kepribadian seseorang.
Bait keempat menyajikan dialog antara anak dan ibu, yang mengandung makna religius. Pertanyaan tentang mengapa rambut dijahit dengan benang hitam mengarah pada makna bahwa proses menjadi dewasa memerlukan waktu dan kesabaran. Simbol merpati dalam kitab suci melambangkan Roh Kudus, yang menjadi tanda kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia.
Bait kelima menggambarkan perubahan fisik dan mental seiring bertambahnya usia. Benang putih yang disimpan dalam hati ibu menggambarkan proses pematangan diri. Erich menggunakan metafora jubah sebagai simbol dari kedewasaan dan tanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa ia sedang dalam proses pencarian makna hidup dan keberadaannya.
Bait keenam dan ketujuh menunjukkan pentingnya percakapan dalam puisi. Dialog antara ibu dan anak mengandung pesan religius tentang pentingnya pelayanan kepada Tuhan. Benang putih dianggap sebagai simbol kemurnian dan kesucian. Erich menyampaikan bahwa pelayanan kepada Tuhan membutuhkan kesabaran dan pengorbanan.
Bait terakhir menggambarkan sikap keibuan dalam diri sang aku. Pesan ibu untuk menjaga kesucian dan tetap bersandar pada Tuhan menunjukkan bahwa nilai-nilai moral dan spiritual sangat penting dalam kehidupan manusia.
Penutup
Mencari makna dalam puisi membutuhkan kepekaan dan pemahaman yang mendalam. Puisi “Benang-Benang Ibu” tidak hanya menyampaikan pesan tentang hubungan antara tubuh dan budaya, tetapi juga menggambarkan perjalanan spiritual dan moral seseorang. Dengan menggunakan metafora tenun ikat dan simbol-simbol religius, Erich berhasil menciptakan karya yang kaya akan makna dan pesan. Karya ini layak diapresiasi sebagai salah satu contoh sastra yang mampu menggambarkan kehidupan manusia dalam perspektif sosio-religius.
