Terlanjur Percaya Diri Selalu Juara, Calon Siswa SMP Syok Gagal PPDB Gegara Batas Usia

Posted on

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi momok menegangkan bagi sejumlah orang tua dan calon siswa di berbagai wilayah. Di Banyumas, sebuah kasus menyita perhatian publik ketika seorang siswa yang selama ini dikenal sebagai juara kelas justru gagal masuk ke SMP negeri pilihan karena faktor usia. Sementara itu, di Surabaya, sejumlah orang tua mengeluhkan sistem jalur domisili yang dinilai kurang transparan serta beban biaya pendidikan di sekolah swasta yang terlalu tinggi.

Kasus Gagal Masuk Sekolah Karena Usia di Banyumas

Siswa SD tersebut memiliki prestasi gemilang dengan predikat juara 1 di sekolahnya. Namun, saat mendaftar ke SMP Negeri melalui PPDB, ia harus gigit jari lantaran usianya masih 12 tahun 6 bulan. Dalam proses seleksi, ia kalah bersaing dengan calon siswa lain yang lebih tua, yakni berusia 13 tahun.

Kekecewaan semakin memuncak karena faktor usia menjadi penentu utama dalam seleksi, meski sang anak memiliki nilai akademik yang sangat baik. Orang tua siswa pun mempertanyakan apakah sistem pendidikan benar-benar mengutamakan kemampuan dan prestasi anak atau hanya didasarkan pada aspek administratif seperti usia dan domisili.

Lokasi tempat tinggal anak juga menjadi kendala tersendiri. Rumahnya berada di wilayah kelurahan sebaran, bukan kelurahan utama, sehingga peluang untuk diterima di sekolah tujuan menjadi lebih kecil. Hal ini semakin memperjelas adanya disparitas akses pendidikan antar wilayah.

Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas memberikan klarifikasi bahwa PPDB dilakukan melalui empat jalur, yaitu:

  • Jalur zonasi (domisili)
  • Jalur afirmasi
  • Jalur prestasi
  • Jalur perpindahan orang tua/wali (mutasi)

Namun, dinas tidak secara spesifik merespons polemik terkait kriteria usia. Mereka menekankan bahwa semua mekanisme seleksi sudah diatur dalam petunjuk teknis PPDB yang telah disosialisasikan kepada masyarakat.

Keluhan Orang Tua di Surabaya Terkait Jalur Domisili

Di Surabaya, beberapa orang tua mengeluhkan sistem SPMB (Seleksi Penerimaan Murid Baru) untuk jenjang SMP Negeri. Salah satunya adalah Nurul (38), warga Gading, yang kesulitan mendaftarkan anaknya ke SMPN 9 dan SMPN 18 karena jarak rumah yang cukup jauh dari sekolah. Meskipun hanya berjarak sekitar 1.200 hingga 1.600 meter, anaknya tetap tergeser dalam peringkat seleksi jalur domisili.

“Tadi malam daftar, tapi lima menit sudah kegeser. Bingung harus bagaimana karena tidak ada penambahan pagu,” ujarnya di posko konsultasi SPMB Dispendik Kota Surabaya.

Masalah lain yang muncul adalah minimnya informasi dari sekolah asal mengenai prosedur SPMB. Selain itu, biaya pendidikan di sekolah swasta menjadi beban berat bagi keluarga yang memiliki keterbatasan finansial.

Hal serupa dialami oleh Dwi Rahmawati, orang tua murid lulusan SDN Gading 3. Ia mengaku kesulitan membayar biaya pendidikan di sekolah swasta karena jumlahnya yang cukup besar: Rp2 juta untuk uang pendaftaran, Rp2 juta untuk seragam, dan SPP bulanan sebesar Rp300 ribu.

Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Surabaya, Ahmad Syahroni, menjelaskan bahwa banyak orang tua yang belum memahami alur pendaftaran atau cara mengecek peringkat anak mereka di sistem. Ia menambahkan bahwa Dispendik Surabaya masih membuka peluang bagi pendaftar yang sempat tergeser melalui proses daftar ulang. Jika ada peserta yang tidak melakukan daftar ulang, maka sistem akan otomatis memberi kesempatan kepada pendaftar cadangan.

Selain itu, Pemkot Surabaya juga telah menjalin kerja sama dengan sejumlah sekolah swasta untuk memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa dari keluarga tidak mampu.

Evaluasi Sistem PPDB

Kasus-kasus yang terjadi di Banyumas dan Surabaya menunjukkan adanya tantangan dalam sistem PPDB. Faktor usia, domisili, dan minimnya informasi menjadi penghalang bagi siswa berprestasi untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Masyarakat mulai mempertanyakan apakah sistem pendidikan kita benar-benar berorientasi pada mutu dan kompetensi siswa atau justru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor administratif. Reformasi sistem seleksi, sosialisasi yang lebih intensif, serta perlindungan terhadap siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu menjadi isu penting yang perlu ditinjau ulang demi menciptakan pendidikan yang lebih adil dan berkualitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *