Setya Novanto Bebas Bersyarat, Rugikan Negara Rp 2,3 Triliun dengan Korupsi e-KTP

Posted on

Pembebasan Bersyarat Setya Novanto atas Kasus Korupsi e-KTP

Setya Novanto, terpidana kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), resmi mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ia menjalani hukuman selama 15 tahun penjara sejak divonis pada 24 April 2018. Namun, setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK), hukumannya diubah menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara.

Pembebasan bersyarat ini dilakukan karena Setya Novanto menunjukkan perilaku yang baik selama menjalani hukuman. Salah satu buktinya adalah inisiasi program klinik hukum di Lapas Sukamiskin, yang telah disetujui oleh pihak lapas. Program tersebut melibatkan warga binaan dalam memberikan pendidikan kepada rekan-rekannya sesama tahanan. Selain itu, ia juga aktif dalam program ketahanan pangan dan kemandirian serta pembinaan spiritual.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jabar, Kusnali, menyatakan bahwa Setya Novanto resmi bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025. Penentuan waktu tersebut didasarkan pada aturan bahwa narapidana harus menjalani dua per tiga masa pidana dari total hukuman. Dengan hukuman 12,5 tahun, maka dua per tiganya adalah sekitar 8,3 tahun, sehingga pembebasan bersyarat terjadi pada tanggal tersebut.

Setelah bebas bersyarat, status Setya Novanto berubah menjadi klien pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Bandung. Ia wajib lapor setidaknya sekali dalam sebulan. Rika Aprianto, Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan, menjelaskan bahwa semua warga binaan yang diberi pembebasan bersyarat akan dicek secara berkala. Hal ini tidak hanya berlaku untuk Setya Novanto, tetapi juga untuk yang lainnya.

Hak Politik yang Dicabut

Meski mendapat pembebasan bersyarat, hak politik Setya Novanto dicabut selama 2,5 tahun. Pencabutan ini berlaku setelah ia bebas murni pada 2029. Rika menjelaskan bahwa pencabutan hak politik merupakan putusan pengadilan yang harus dijalankan. Putusan tersebut berdasarkan putusan MA atas permohonan PK yang diajukan oleh Setya Novanto.

Hukuman awal Setya Novanto adalah 15 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS. Namun, setelah MA mengabulkan PK, hukuman penjara berkurang menjadi 12 tahun dan 6 bulan, sementara denda diubah menjadi Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Uang pengganti juga dikurangi menjadi Rp 5 miliar, dengan sisa Rp 49 miliar yang masih harus dibayar.

Perkembangan Hukum Setya Novanto

Putusan MA tentang PK Setya Novanto dikeluarkan dengan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020. Dalam putusan tersebut, ia terbukti bersalah atas tindakan korupsi dalam kasus e-KTP. Majelis hakim menyatakan bahwa ia terbukti melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Selain hukuman penjara, majelis juga mencabut hak politiknya selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.

Latar Belakang Kasus e-KTP

Setya Novanto sebelumnya dikenal sebagai tokoh penting dalam dunia politik Indonesia. Karier politiknya dimulai sebagai kader Kosgoro pada 1974, kemudian menjadi anggota DPR Fraksi Partai Golkar pada 1998. Ia memegang kursi di parlemen selama enam periode berturut-turut hingga 2015. Selain itu, ia pernah menjabat Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR.

Kasus e-KTP bermula dari rencana pemerintah pada 2009 untuk mengembangkan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP). Salah satu komponen utamanya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Proyek ini ditargetkan selesai pada 2013. Namun, lelang e-KTP yang dimulai pada 2011 menghadapi banyak masalah, termasuk indikasi penggelembungan dana.

Kasus ini terungkap setelah kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. KPK kemudian mengungkap adanya kongkalikong antara birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, dan pengusaha dalam proyek e-KTP. Akibat korupsi ini, negara mengalami kerugian hingga Rp 2,3 triliun.

Setya Novanto menjadi tersangka dalam kasus ini setelah namanya disebut dalam sidang perdana bersama dua mantan pejabat Kemendagri, Sugiharto dan Irman. Dalam dakwaan, ia disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun. Setelah melalui proses hukum, ia akhirnya dihukum 15 tahun penjara pada 24 April 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *