Sarjana Jadi PPSU: Bukan Soal Halal, Tapi Tanda Macetnya Serapan Tenaga Terdidik

Posted on

Kesenjangan Pekerjaan dan Pendidikan di Jakarta

Di tengah meningkatnya angka pengangguran, khususnya di Jakarta, banyak lulusan sarjana yang terpaksa mengambil pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang studinya. Musarotun (29), seorang lulusan akuntansi dari sebuah perguruan tinggi di Jakarta, adalah salah satu contohnya. Ia memilih untuk menjadi Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) DKI Jakarta, meskipun pekerjaan ini jauh dari bidang keahliannya.

Musarotun bukanlah satu-satunya sarjana yang mengalami hal ini. Di Kelurahan Serdang, Kemayoran, dua orang lainnya, Nabila (27) dan Febrina Nuranisa (32), juga mengikuti seleksi serupa. Mereka mengaku sudah terbiasa bekerja di bidang rumah tangga, dan saat ini kesempatan kerja sangat sulit ditemukan. “Selagi ada peluang, ambil saja,” ujar Nabila.

Dalam seleksi yang digelar awal Juli 2025, dari total 127 pelamar, tujuh di antaranya adalah lulusan sarjana. Gaji PPSU yang mengacu pada UMP Jakarta sekitar Rp 5,3 juta per bulan, ditambah jaminan kesehatan dan THR, menjadi daya tarik utama bagi para pelamar.

Tantangan dalam Menyerap Tenaga Terdidik

Namun, di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih dalam. Masalah ini bukan hanya tentang apakah pekerjaan itu halal atau tidak, melainkan tentang mandeknya mobilitas sosial bagi lulusan sarjana yang seharusnya menjadi tulang punggung tenaga terampil nasional.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Jakarta mencapai 6 persen, tertinggi di Indonesia. “Jakarta unik. Semua fasilitas tersedia, tapi penganggurannya tinggi. Banyak orang datang berharap pekerjaan, tapi nyatanya akses tetap terbatas,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta pada Februari 2025 mencatat jumlah angkatan kerja meningkat menjadi 5,47 juta orang. Namun, pengangguran juga naik, mencapai 338,39 ribu orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) naik menjadi 6,18 persen. Laki-laki terdampak lebih parah dengan TPT sebesar 6,77 persen dibanding perempuan (5,29 persen).

Ketimpangan Sistem Pendidikan dan Pasar Kerja

Lulusan dengan jenjang pendidikan Diploma I/II/III dan SD ke bawah memiliki tingkat pengangguran paling rendah, masing-masing sebesar 2,05 persen dan 7,51 persen. Fakta menarik lainnya, lulusan SMK menjadi kelompok dengan pengangguran tertinggi, 9,07 persen. Padahal, SMK dirancang untuk mencetak tenaga siap kerja. Sebaliknya, lulusan SMP justru mencatat TPT terendah, 3,00 persen.

Ini mengindikasikan ketimpangan serius antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Distribusi pengangguran berdasarkan jenjang pendidikan memperlihatkan dominasi lulusan SMA/SMK (38,61 persen), menandakan kegagalan sistem pendidikan menengah atas dan kejuruan dalam mempersiapkan lulusannya.

Kebutuhan Solusi Konkret

Bhima menyarankan pemerintah tidak lagi mengandalkan pendekatan birokratis semata. “Kebijakan publik tidak bisa dibuat asal, apalagi cuma tanya ke ChatGPT. Masalahnya pengangguran, bukan kekurangan wacana,” tegasnya.

Kasus Musarotun dan kawan-kawannya adalah refleksi konkret dari kegagalan sistemik. Ketika sarjana rela masuk got untuk bekerja, ini bukan soal martabat pekerjaan, tapi soal bagaimana negara gagal membuka jalan agar pendidikan benar-benar menjadi tangga naik kelas.

Solusinya bukan semata menambah lowongan, tapi menyusun ulang kurikulum, memperkuat koneksi antara dunia pendidikan dan industri, dan memastikan keberpihakan anggaran daerah pada pelatihan kerja berbasis kebutuhan nyata. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan Musarotun lain, sarjana yang turun ke selokan, bukan karena tak punya mimpi, tapi karena mimpinya tak diberi ruang.