Masalah Infrastruktur yang Menghambat Pengelolaan Sampah di TPST Sumpiuh
Aris Widarto (54), Ketua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sumpiuh, merasa berat saat kembali memasuki hanggar utama. Di hadapannya, tumpukan sampah sisa Lebaran masih menggunung dan belum tersentuh. Bau menyengat semakin mengganggu setelah hujan turun. Air hujan yang masuk ke dalam hanggar membuat sampah menjadi lembek dan mempercepat proses pembusukan. Kerusakan atap yang parah, dengan banyak bagian yang berlubang, menjadi penyebab utama masuknya air.
“Kalau hujan, air langsung masuk. Sampah jadi lembek dan makin bau,” ujar Aris, yang juga memimpin Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sumpiuh. TPST ini berada di Jalan Karet, Kelurahan Kradenan, Kecamatan Sumpiuh, dan menjadi nafas utama pengelolaan sampah untuk tiga kecamatan: Sumpiuh, Tambak, dan Kemranjen. Rata-rata sampah yang masuk mencapai 30 hingga 35 meter kubik per hari. Sayangnya, kapasitas pengolahan hanya sekitar 25 meter kubik per hari jika mesin berjalan optimal.
Kadang, jika mesin rusak, pengolahan sampah terhenti dan menumpuk. Hal ini memicu penumpukan sampah yang tidak bisa dikelola secara efektif.
Program Budidaya Maggot Terganggu
Di dalam area TPST seluas hampir setengah hektare, terdapat berbagai fasilitas seperti mesin pencacah plastik, mesin pembuat pelet, kolam budidaya lele, dan kandang maggot. Namun, semua fasilitas tersebut tidak berjalan maksimal karena kerusakan atap yang telah berlangsung lebih dari setahun. Akibatnya, proyek budidaya maggot vakum selama lebih dari satu tahun.
Padahal, maggot bukan hanya solusi untuk sampah organik, tetapi juga potensi pakan mandiri untuk ternak. “Jika atap sudah diperbaiki, kami akan mulai lagi. Dengan stok maggot yang cukup, kita bisa membuat pelet,” kata Aris. Harapan besar adalah dari pelet ini bisa mendukung budidaya lele, ayam petelur, dan bebek.
Sebagian besar inisiatif TPST didukung bantuan pemerintah dan CSR dari berbagai pihak, termasuk pelatihan budidaya maggot dan studi banding ke TPST Kedungrandu. Namun, keterbatasan infrastruktur tetap menjadi kendala utama.
Kondisi Karyawan yang Menyedihkan
Meski kondisi infrastruktur buruk, sebanyak 33 orang pekerja masih bertahan. Mereka terdiri dari 26 laki-laki dan 7 perempuan, sebagian besar warga sekitar. Para pekerja perempuan, mayoritas ibu rumah tangga, hanya digaji Rp1,1 juta per bulan, sedangkan pekerja laki-laki menerima Rp1,4 juta. “Rencananya, nanti dinaikkan. Perempuan jadi Rp1,3 juta, laki-laki Rp1,6 juta,” ujar Aris. Ia berharap ke depan gaji bisa sesuai UMK.
Ketergantungan pada Sinergi Antar Pihak
Kelangsungan operasional TPST Sumpiuh bergantung pada sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Namun, hingga kini, perbaikan atap hanggar masih menjadi pekerjaan rumah terbesar. Informasi terakhir menyebutkan bahwa anggaran perbaikan hanggar akan dimasukkan dalam perubahan APBD tahun ini.
“Kami sangat menunggu. Kalau atap selesai, semuanya bisa jalan lagi. Maggot, pelet, lele, dan rencana ternak lain bisa dikembangkan,” harap Aris.
Efisiensi Anggaran yang Menghambat Perbaikan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banyumas, Widodo Sugiri, mengatakan perbaikan hanggar TPST Sumpiuh baru dilakukan sebagian. “Kemarin, baru sebagian yang diperbaiki, semoga di anggaran perubahan ini bisa kami selesaikan secara keseluruhan.” Ia menjelaskan, kebutuhan dana mencapai sekitar Rp500 juta, namun efisiensi anggaran sangat mempengaruhi.
Di wilayah timur Kabupaten Banyumas, TPST Sumpiuh adalah satu-satunya pengolah sampah terpadu yang aktif. Perannya krusial sebagai penggerak utama sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Tanpa dukungan serius terhadap infrastruktur dasar seperti atap hanggar, sistem yang ada bisa stagnan bahkan lumpuh.
“Kalau pemerintah ingin mengurangi beban TPA maka kami harus dibantu dari hulu. Mulai dari armada, mesin, dan tentu saja atap hanggar. Itu yang paling mendesak sekarang,” tutup Aris.


