Rencana Trump di Gaza: Antara Kekuatan dan Harapan Baru

Posted on

Rencana Perdamaian di Gaza dan Dampaknya Terhadap Kemanusiaan

Rencana perdamaian di Gaza yang digagas oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, serta diterima oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, telah memicu berbagai perdebatan di berbagai forum internasional. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai langkah strategis yang penuh ambisi pribadi dari Trump sebagai “peace maker”. Di sisi lain, banyak pihak memandangnya sebagai celah pragmatis untuk mengurangi penderitaan rakyat Gaza.

Namun, dalam melihat kompleksitas dan peliknya masalah Palestina, pendekatan yang paling realistis adalah memberikan apresiasi secara selektif, mengakui manfaat potensial dan humanis yang terkandung di dalamnya sambil menuntut pengawasan ketat dari semua pemangku kepentingan di dunia agar manfaat dari rencana Gaza ini benar-benar bisa sampai ke rakyat Gaza dan mengurangi tekanan kemanusiaan akut yang sudah berlangsung dua tahunan di sana.

Poin-Poin Utama dalam “Gaza Plan”

Secara garis besar, “Gaza Plan” mengandung beberapa pokok penyelesaian temporal. Pertama, rencana ini menuntut demiliterisasi Gaza di mana Hamas diminta meletakkan senjata, lalu membubarkan jaringan militer mereka di sana, dan menghentikan semua aktivitas yang dianggap mengancam keamanan Israel. Kedua, akan ada mekanisme pertukaran tahanan masif, dengan rasio yang diberitakan mencapai lima belas tahanan Palestina untuk satu tahanan Israel. Ketiga, akan dibentuk Dewan Perdamaian Internasional (Board of Peace) yang diketuai oleh Donald Trump, bertugas mengawasi distribusi bantuan, proyek rekonstruksi, dan transisi administrasi di wilayah yang paling terdampak.

Kritik terhadap Rencana Gaza

Meski begitu, kritik yang muncul terhadap rencana Gaza ini bukan tanpa dasar. Demiliterisasi yang dipaksakan bisa diartikan sebagai upaya mereduksi peran politik Hamas sehingga menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi yang telah diterima organisasi ini di Gaza sejak bertahun-tahun. Peran Otoritas Palestina yang minim juga memicu kekhawatiran bahwa opsi negara merdeka bagi Palestina akan semakin meredup dan akan mengecewakan banyak pendukungnya di seluruh dunia. Pun, ada pula kekhawatiran bahwa Dewan Perdamaian yang dipimpin oleh figur kuat dari aktor eksternal berpotensi mengesampingkan aspirasi lokal, menjadikan pengelolaan rencana Gaza lebih sebagai urusan administrasi yang dikontrol dari luar.

Konteks Kemanusiaan yang Lebih Penting

Dalam hemat saya, konteks yang perlu dikedepankan saat ini adalah konteks kemanusiaan. Urusan di luar itu sangat kompleks, rumit, dan sangat historis, pun perlu waktu panjang, sehingga belum tentu bisa membuka jalan bagi penyelesaian masalah kemanusiaan yang melanda Gaza dalam dua tahun terakhir. Saat ini, Gaza berada di ambang krisis kemanusiaan berkepanjangan, rumah sakit kekurangan obat, suplai listrik amat terbatas, dan akses air bersih serta bahan pangan terhambat. Dalam situasi seperti ini, pembukaan koridor kemanusian dan jalur distribusi yang aman dipastikan akan memiliki dampak nyaris langsung terhadap keselamatan jiwa rakyat Gaza.

Peran Donald Trump dan Netanyahu

Peran Donald Trump memang cukup dilematis. Di satu sisi, ada motif politik dan ambisi pribadi yang sangat mencolok. Trump berambisi meninggalkan jejak diplomatik atau legasi pada konflik Palestina-Israel yang sebelumnya sudah sempat ia torehkan di dalam Abraham Accord tahun 2019. Namun, perlu juga diakui bahwa Presiden ke 45 dan ke 47 negara Paman Sam ini memainkan kartu geopolitiknya dengan baik dan sangat ciamik, sehingga terlihat bahwa apa yang ia lakukan hanya sebagai respons atas menguatkanya gelombang narasi kemanusiaan di forum internasional, termasuk di Sidang Umum PBB baru-baru ini yang kental menyoroti penderitaan warga Gaza.

Keterlibatan Qatar dan Negara Lain

Keterlibatan Qatar sebagai salah satu faktor kunci tidak bisa dipungkiri. Doha memiliki jalur komunikasi khusus, bahkan pengaruh kepada elite Hamas. Tak ada negara lain di Timur Tengah yang memiliki dua privilege tersebut. Jika Qatar benar-benar mampu memoderasi posisi Hamas secara bertahap dan mencegah munculnya kekosongan keamanan yang bisa dimanfaatkan kelompok radikal lain di Gaza, maka dipastikan peran Doha akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan rencana Trump, tanpa menafikan keterlibatan negara-negara regional seperti Mesir dan Yordania, serta dukungan teknis dari lembaga internasional tentunya.

Tantangan Implementasi Rencana Trump

Meski demikian, implementasi rencana Trump ini bukan tanpa tantangan teknis dan politis di lapangan. Demiliterisasi bukanlah pekerjaan mudah, karena senjata dan jaringan bawah tanah di Gaza, sepanjang pengetahuan saya, sudah terintegrasi dengan struktur sosial dan ekonomi masyarakat Gaza. Jadi akan tetap ada risiko terbentuknya kelompok fraksi radikal baru yang akan menolak rencana di Gaza tersebut. Pun kemungkinan terjadinya sabotase oleh aktor yang merasa dirugikan oleh rencana baru ini juga tetap ada.

Langkah Strategis untuk Menjamin Kemanusiaan

Untuk memastikan bahwa manfaat kemanusiaan benar-benar tersalurkan, beberapa langkah strategis perlu ditempuh. Pertama, badan PBB seperti OCHA, WHO, serta organisasi pengungsi harus diberikan akses penuh di satu sisi dan kebebasan operasional di sisi lain. Kedua, donor internasional harus mensyaratkan akuntabilitas finansial sebagai prasyarat utama pencairan dana bantuan. Ketiga, harus ada program reintegrasi ekonomi bagi mantan kombatan yang bersedia menyerahkan senjata, termasuk pelatihan keterampilan, dukungan usaha kecil, dan pendampingan psikososial bagi keluarga terdampak.

Peran Indonesia dan Negara-Negara Lain

Peran negara-negara donor, termasuk negara di kawasan Asia Tenggara, juga penting. Indonesia, misalnya, bisa memberikan dukungan kemanusiaan dan diplomatik yang menunjukkan solidaritas, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi dan keadilan. Tidak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat sipil dan media independen sebagai pengawas. Masyarakat sipil lokal dan internasional harus diberi ruang untuk memantau distribusi bantuan dan melaporkan potensi penyimpangan di bawah perlindungan hukum yang jelas.

Kesimpulan

Yang jelas, perlu diakui bahwa “Gaza Plan” bukanlah jalan keluar permanen bagi konflik Israel-Palestina. Rencana ini tidak menawarkan kerangka komprehensif untuk mendirikan negara Palestina yang berdaulat dan memang tidak memulihkan semua hak politik yang selama ini diperjuangkan oleh Hamas dan rakyat Gaza. Namun, dalam konteks situasi darurat kemanusiaan, solusi memang sering kali tidak datang dalam bentuk yang paling sempurna. Yang paling penting saat ini adalah bahwa dunia segera memiliki peluang pragmatis untuk mengurangi penderitaan di Gaza. Jika rencana ini bisa dikelola dengan ketat, bertanggung jawab, dan berorientasi pada hak dasar rakyat Gaza sendiri, “Gaza Plan” bisa menjadi “jeda penting” yang bisa menyelamatkan nyawa dan memberi ruang bagi perbaikan yang lebih permanen di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *