Polemik Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Kembali Muncul

Posted on

Peningkatan Pengawasan terhadap PT Gag Nikel di Raja Ampat

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan peningkatan pengawasan terhadap kinerja tata kelola lingkungan dari PT Gag Nikel yang kembali beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan bahwa audit lingkungan perusahaan telah dilakukan dan hasil evaluasi Program Penilaian Kinerja Perusahaan (Proper) menunjukkan bahwa PT Gag Nikel memperoleh peringkat hijau.

Hanif menjelaskan bahwa arahan Presiden Prabowo Subianto adalah untuk tetap mempertahankan operasional perusahaan namun dengan pengawasan yang lebih ketat. “Kami akan meningkatkan intensitas kunjungan ke lokasi PT Gag Nikel,” ujarnya.

Audit Lingkungan yang Diperkuat

Untuk menindaklanjuti permintaan Presiden, pihaknya telah menyusun audit lingkungan yang diperkuat dalam persetujuan lingkungan perusahaan. Hal ini mencakup penambahan beban pengawasan, komponen, dan variabel pengawasan. Selain itu, juga dilakukan peningkatan intensitas kunjungan ke lokasi pertambangan.

Sebelumnya, dalam konferensi pers, PT Gag Nikel menggelar aktivitas di Pulau Gag yang luasnya 6.030 hektare. Kontrak karya mereka seluas 13.136 hektare berada di pulau tersebut dan perairannya, yang semuanya berada dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004, PT Gag Nikel merupakan salah satu dari 13 kontrak karya yang diperbolehkan menambang dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung.

Dampak Kerusakan yang Relatif Minor

PT Gag Nikel dinilai memiliki dampak kerusakan paling minor di Raja Ampat. Tim pengawasan langsung turun ke lokasi pertambangan dan menemukan bahwa perusahaan tersebut relatif memenuhi kaidah lingkungan. Tingkat pencemaran yang terlihat oleh mata hampir tidak serius. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti pemantauan keanekaragaman plankton di air sungai.

Persetujuan lingkungan PT Gag Nikel akan ditinjau kembali karena kegiatan pertambangan berada pada pulau kecil sesuai UU Nomor 27 Tahun 2007. Pemerintah akan segera memerintahkan pemulihan kondisi sekitar akibat dampak yang timbul.

Izin dan Persyaratan yang Lengkap

Secara izin usaha pertambangan (IUP), dokumen perizinan, dan persetujuan lingkungan, PT Gag Nikel sudah lengkap. Perusahaan ini juga memiliki persetujuan teknis Baku Mutu Air Limbah (BMAL) untuk pengelolaan air larian. Namun, belum melakukan pembuangan ke lingkungan karena belum memiliki sertifikat laik operasi (SLO). Seluruh air limpasan dikelola menggunakan sistem drainase, sump pit, dan kolam pengendapan dengan kapasitas besar.

Pihaknya akan melakukan tindak lanjut pengecekan laboratorium untuk memastikan tingkat kerusakan di sekitar area penambangan. Salah satu yang akan diperiksa adalah bentuk sedimentasi yang menutupi permukaan koral.

Tanggung Jawab Pemerintah

Meskipun kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan PT Gag Nikel minor, pemerintah tetap meminta pemulihan kondisi sekitar. Kawasan Raja Ampat memiliki kerentanan kerusakan, sehingga pemerintah harus tetap memperhatikan dampak dari penambangan nikel. Koral sebagai habitat penting bagi kehidupan laut harus dijaga keberadaannya.

Penilaian Propper dan Operasi Kembali

Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno menyatakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi Propper, GAG Nikel memperoleh peringkat hijau. Peringkat ini menunjukkan bahwa perusahaan telah taat terhadap tata kelola lingkungan dan melakukan pemberdayaan masyarakat. Hal ini menjadi alasan utama perusahaan kembali beroperasi di Raja Ampat.

Penolakan dari Greenpeace

Namun, Greenpeace Indonesia menolak keputusan pemerintah. Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyatakan bahwa kembali diberikan izin operasi kepada Gag Nikel merupakan kabar buruk bagi upaya #SaveRajaAmpat. Menurutnya, pemerintah justru mempertahankan Gag Nikel meskipun izin tambang nikel membahayakan ekosistem kepulauan Raja Ampat.

Greenpeace mengkritik keputusan pemerintah yang dianggap melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasalnya, pulau kecil yang luasnya kurang dari 10.000 hektare dilarang ditambang.

Kritik atas Transisi Energi

Senior Regional Campaign Strategist untuk Greenpeace Asia Tenggara Rayhan Dudayev menambahkan bahwa transisi energi sering digunakan sebagai dalih untuk menjustifikasi pertambangan mineral. Ia mencontohkan tambang nikel di negara-negara Selatan seperti Indonesia mengancam kawasan kaya keanekaragaman hayati seperti Raja Ampat.

Greenpeace mendesak perlindungan secara penuh dan permanen untuk lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal dari kepentingan industri ekstraktif yang merusak. Mereka juga meminta resolusi dari United Nations Environment Assembly (UNEA) PBB untuk mengatur tata kelola mineral secara adil dan berkelanjutan.