Pendekatan Baru terhadap Pengguna Narkoba
Di tengah perdebatan yang terus berlangsung mengenai kebijakan penanganian pengguna narkoba, BNN (Badan Narkotika Nasional) telah mengambil langkah signifikan dalam mengubah pandangan terhadap masalah ini. Menurut Kepala BNN Marthinus Hukom, pengguna narkoba tidak lagi dianggap sebagai pelaku kejahatan yang harus dipidana, melainkan sebagai korban yang membutuhkan bantuan rehabilitasi.
Dalam sebuah acara di Auditorium Widya Sabha Universitas Udayana, Bali, pada 15 Juli 2025, Hukom menjelaskan bahwa setiap pengguna narkoba yang tertangkap akan diberi kesempatan untuk menjalani proses rehabilitasi tanpa adanya tindakan hukum formal. Ia menegaskan bahwa jika ada petugas penegak hukum yang mencoba mengambil alih proses tersebut, maka mereka sendiri bisa terkena konsekuensi hukum.
Perbedaan Pandangan antara Pengguna dan Pengedar
Hukom menekankan pentingnya membedakan antara pengguna dan pengedar narkoba. Menurutnya, pengguna adalah korban dari ketergantungan, sehingga pendekatan yang tepat bukanlah pemidanaan, melainkan rehabilitasi. Ia menyatakan bahwa memenjarakan pengguna justru akan membuat mereka menjadi korban dua kali. “Jika seseorang sudah menjadi korban karena ketergantungan, lalu kita penjarakan, itu artinya membuatnya jadi korban untuk kedua kalinya,” ujarnya.
Ia juga menunjukkan bahwa banyak pengguna yang berhasil pulih setelah menjalani rehabilitasi. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan kesehatan dan sosial lebih efektif dibandingkan hukuman pidana.
Pandangan Menteri Koordinator Hukum
Dalam pidato ilmiahnya saat Wisuda Poltekip dan Poltekim pada 11 Desember 2024, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, pengguna narkotika seharusnya dipandang sebagai korban yang perlu direhabilitasi dan tetap mendapatkan pembinaan dari negara. Ia menilai pendekatan ini dapat membantu mengurangi kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan.
“Jumlah warga binaan mungkin akan menurun drastis. Namun itu bukan berarti mereka dibebaskan begitu saja, melainkan dialihkan ke proses rehabilitasi, bukan dipenjara,” kata Yusril.
Ia juga menyoroti bahwa KUHP baru yang akan mulai berlaku pada Januari 2026 lebih menekankan pendekatan keadilan restoratif. Menurutnya, orientasi pemidanaan di Indonesia tidak lagi hanya berfokus pada penghukuman, melainkan juga mencakup prinsip-prinsip keadilan restoratif, rehabilitasi, dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, seperti hukum adat dan hukum Islam.
Pandangan Wakil Menteri Hukum
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej juga menyatakan bahwa hukuman penjara tidak terbukti efektif dalam memulihkan para pengguna narkotika. Ia merujuk pada temuan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap pengguna narkoba justru tidak memberikan dampak positif.
Eddy mengaku terkejut saat mengetahui hasil studi tersebut, karena ternyata banyak pengguna yang tidak mengalami perbaikan setelah dipenjara. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa penjara bukanlah cara yang tepat untuk menimbulkan efek jera.
Ia kemudian menekankan bahwa pendekatan terhadap pengguna narkoba seharusnya berfokus pada aspek kesehatan. “Yang terpenting adalah bagaimana menyembuhkan kecanduan mereka, bukan malah menghukum atau memenjarakan,” ujarnya di Jakarta pada Rabu, 4 Desember 2024.
Ketentuan Hukum Mengenai Pengguna Narkoba
Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur ketentuan hukum bagi pengguna atau pecandu narkoba. Hukuman yang dikenakan cenderung lebih ringan, yakni berupa rehabilitasi atau pidana penjara maksimal empat tahun.
Ketentuan mengenai rehabilitasi ini juga sejalan dengan pandangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di bawah naungan PBB, yang menyatakan bahwa kecanduan merupakan penyakit kronis yang bersifat kambuhan namun bisa disembuhkan. Wacana mengenai hukuman bagi pengguna narkoba sendiri telah melalui perdebatan panjang, dengan banyak pihak yang menilai bahwa selain aspek pidana, pengguna juga memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial.


