Perayaan Maulid Nabi di Surakarta dan Yogyakarta: Kapan Dilaksanakan?

Posted on

Sejarah dan Makna Tradisi Sekaten

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan tradisi, yang lahir dari perpaduan antara agama, budaya, dan adat istiadat. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga saat ini adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di dua keraton besar Jawa, yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dikenal dengan nama Sekaten, sebuah perayaan tahunan yang tidak hanya penuh makna spiritual, tetapi juga mengandung unsur budaya Jawa yang khas.

Sekaten memiliki akar sejarah yang terkait dengan dakwah Wali Songo pada abad ke-15. Menurut catatan sejarah, Sunan Bonang menggunakan gamelan sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat agar datang ke masjid. Setelah tertarik oleh suara gamelan, masyarakat kemudian diajak mendengarkan lantunan syair yang berisi ajaran Islam. Dari sinilah lahir tradisi Sekaten, yang menjadi bentuk perpaduan seni, budaya, dan spiritualitas Islam. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Rabiulawal, tepatnya tanggal 12 Rabiulawal dalam kalender Hijriah, sebagai peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Rangkaian Kegiatan dalam Sekaten

Di Surakarta, Sekaten rutin digelar dengan berbagai rangkaian acara yang meriah. Salah satu ciri khasnya adalah pasar malam yang berlangsung selama sebulan penuh di sekitar alun-alun keraton. Pasar malam ini menyediakan berbagai pedagang makanan, mainan, serta produk lokal. Namun, inti dari tradisi ini tetap pada tabuhan gamelan keraton yang dipercaya sebagai warisan dari Wali Songo. Bagi masyarakat Solo, Sekaten bukan hanya ajang hiburan, tetapi juga sarana memperkuat ikatan sosial dan spiritual.

Di Yogyakarta, Sekaten juga memiliki ciri khas tersendiri. Selain tabuhan gamelan dan pasar rakyat, Keraton Yogyakarta menambahkan tradisi unik bernama Udhik-udhik. Dalam prosesi ini, Sri Sultan menyebarkan uang logam, beras, dan bunga kepada masyarakat. Simbol ini dimaknai sebagai wujud kesejahteraan dan berkah yang diharapkan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.

Grebeg Maulud: Puncak Perayaan Sekaten

Baik di Surakarta maupun Yogyakarta, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW mencapai puncaknya dalam acara Grebeg Maulud. Prosesi ini ditandai dengan keluarnya gunungan, yaitu tumpukan hasil bumi, makanan, dan simbol kesejahteraan yang dibawa keluar dari keraton menuju masjid. Gunungan tersebut kemudian akan diperebutkan oleh masyarakat yang hadir. Tradisi ini diyakini membawa keberkahan dan rezeki bagi siapa saja yang berhasil mendapatkan sebagian dari gunungan. Menurut penelitian, gunungan juga melambangkan jiwa manusia dengan segala sifat baik dan buruknya, sehingga perayaan ini mengingatkan umat untuk selalu mengendalikan diri.

Perbedaan Sekaten Surakarta dan Yogyakarta

Meski sama-sama berakar dari tradisi Wali Songo, Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta memiliki sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya:

  • Surakarta: Tidak mengenal prosesi Udhik-udhik. Fokus utama adalah gamelan dan pasar malam yang meriah.
  • Yogyakarta: Memiliki tambahan prosesi Udhik-udhik, di mana Sultan membagikan uang logam, beras, dan bunga sebagai simbol berbagi kesejahteraan.

Meski berbeda detail, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan cara yang mendekatkan nilai Islam kepada masyarakat melalui budaya Jawa.

Waktu Pelaksanaan Sekaten

Sekaten selalu dilaksanakan pada bulan Rabiulawal, bulan ketiga dalam kalender Hijriah. Puncak acaranya jatuh pada 12 Rabiulawal, yang merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Karena menggunakan penanggalan Hijriah, tanggal perayaan dalam kalender Masehi setiap tahunnya berbeda-beda. Masyarakat biasanya menunggu pengumuman resmi dari pihak keraton mengenai jadwal acara, mulai dari tabuhan gamelan, pembukaan pasar malam, hingga prosesi Grebeg Maulud.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Surakarta dan Yogyakarta bukan sekadar tradisi, melainkan warisan budaya Islam-Jawa yang masih terjaga hingga kini. Melalui Sekaten dan puncaknya Grebeg Maulud, masyarakat diajak untuk mengenang kelahiran Nabi sekaligus menghayati nilai kebersamaan dan spiritualitas. Perpaduan antara tabuhan gamelan, pasar rakyat, hingga prosesi gunungan menunjukkan bagaimana dakwah Islam pada masa lampau mampu beradaptasi dengan budaya lokal. Perbedaan detail di Surakarta dan Yogyakarta justru memperkaya makna tradisi, tanpa mengurangi esensi perayaan Maulid Nabi itu sendiri.