Profil Pemain Judi Online dan Dampaknya terhadap Masyarakat
Pemain judi online memiliki ciri-ciri khas yang bisa dikenali berdasarkan berbagai studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Firman Hidayat melakukan pemetaan profil ini dengan memadukan hasil penelitian dari berbagai negara serta data yang dimiliki oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hasilnya menunjukkan bahwa pemain judi online tidak hanya berasal dari kalangan tertentu, tetapi juga memiliki karakteristik yang cukup jelas.
Salah satu hal yang menonjol adalah usia pemain. Berdasarkan data PPATK, rata-rata pemain judi online adalah laki-laki berusia antara 30 hingga 50 tahun. Namun, tren ini mulai berubah di beberapa wilayah seperti Hong Kong, di mana jumlah penjudi muda semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan judi online. Studi menunjukkan bahwa pemain muda memiliki risiko ketagihan yang lebih tinggi, berkisar antara 1,5 hingga 3,2 kali lipat dibandingkan pemain dewasa.
Di Swedia, bahkan ada penjudi yang mulai bermain pada usia 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa judi online tidak hanya mengancam orang dewasa, tetapi juga generasi muda yang belum sepenuhnya siap menghadapi konsekuensi dari permainan tersebut.
Selain itu, para pemain judi online biasanya berasal dari kalangan dengan pendapatan rendah. Studi di New York, Amerika Serikat (AS), menunjukkan bahwa banyak dari mereka adalah pekerja kerah biru atau blue collar worker. Data PPATK menyebutkan bahwa sebanyak 70,7 persen pemain judi online berasal dari kelompok dengan penghasilan rendah, yaitu antara Rp 0 hingga Rp 5 juta. Mereka juga sering tinggal di area yang relatif kumuh, sehingga memperparah masalah sosial yang terjadi.
Berdasarkan penelitian lain, banyak pemain judi online sudah menikah. Kondisi ini menjadi faktor pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, terdapat kasus di mana penolakan untuk menyerahkan uang untuk perjudian atau alkohol dapat memicu konflik dalam keluarga. Di Taiwan, misalnya, ada penelitian yang menunjukkan hubungan antara kebiasaan berjudi dan kekerasan dalam rumah tangga. Sementara di Australia, masalah hubungan keluarga menyumbang sekitar 65 persen dari total biaya yang dikeluarkan akibat perjudian.
Penurunan Aktivitas Judi Online
Pengawasan yang dilakukan oleh PPATK telah memberikan dampak signifikan terhadap aktivitas judi online. Setelah pembekuan rekening dormant dilakukan, jumlah deposit judi online langsung menurun. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa pada April 2025, nilai deposit judi online mencapai Rp 5 triliun. Namun, angka ini terus melandai hingga Juni 2025, di mana nilai deposit hanya tersisa sebesar Rp 1 triliun. Penurunan ini mencapai lebih dari 70 persen dalam waktu tiga bulan.
Frekuensi transaksi judi online juga mengalami penurunan drastis. Pada April 2025, tercatat sebanyak 33,23 juta kali transaksi. Namun, pada Juni 2025, angka ini turun menjadi hanya 2,79 juta kali. Menurut Ivan, penurunan ini merupakan hasil positif yang sesuai dengan visi Asta Cita dan Indonesia Emas.
Meskipun jumlah transaksi menurun, perputaran uang dari praktik judi online di Indonesia diperkirakan masih sangat besar. Pada akhir tahun 2025, angkanya diperkirakan bisa mencapai Rp 1.200 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi juga menjadi sinyal bahaya bahwa kejahatan digital telah berkembang melebihi kemampuan pendekatan konvensional.
Perlu Sinergi Lintas Sektor
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan bahwa sistem lama tidak lagi relevan untuk menghadapi kompleksitas kejahatan finansial berbasis teknologi. Ia menyarankan adanya sinergi lintas sektor, termasuk regulator, pelaku industri, dan masyarakat sipil, untuk menutup celah penyalahgunaan teknologi keuangan.
Upaya-upaya ini diharapkan dapat memperkuat integritas ekosistem digital dan mempersempit celah yang digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Dengan kolaborasi yang kuat, diharapkan kejahatan digital dapat diminimalkan dan masyarakat lebih aman dalam menggunakan layanan digital.
