Kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan di Bali: Perbedaan Antara Daerah
Pemerintah Kabupaten Gianyar telah menetapkan kenaikan nilai Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 700 persen. Namun, kebijakan ini hanya berlaku untuk sektor usaha, sementara tanah pertanian tetap diberikan fasilitas gratis. Di tahun 2025, Gianyar juga merancang agar tanah atau rumah masyarakat tidak terkena pajak pada tahun 2026.
Bupati Gianyar, I Made Mahayastra, menjelaskan bahwa kenaikan pajak PBB-P2 ini didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Contohnya, hotel bintang lima yang sebelumnya membayar Rp 7 juta kini harus membayar Rp 700 juta. Meski demikian, kenaikan ini tidak berlaku bagi masyarakat umum. Dalam rancangan yang sedang dibuat, pihaknya berharap Gianyar menjadi satu-satunya daerah yang kenaikan pajaknya berpihak kepada rakyat.
Mahayastra menegaskan bahwa kenaikan pajak hanya berlaku bagi pengusaha. Untuk lahan pertanian dan perumahan, pihaknya akan memberikan fasilitas gratis. Langkah ini sudah dimulai sejak tahun ini, sehingga SPT 2026 akan menunjukkan bahwa tanah rumah rakyat tidak perlu dibayarkan pajak lagi.
Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari PBB-P2 di Gianyar meningkat dari Rp 18 miliar menjadi Rp 30 miliar, dan ke depannya diperkirakan mencapai Rp 80 miliar. Meskipun tidak mengenakan pajak PBB untuk rumah rakyat, Mahayastra optimistis target pendapatan tersebut akan tercapai melalui pajak yang dibayarkan para pengusaha.
Sementara itu, Pemkab Buleleng tidak menaikkan NJOP Bumi pada tahun 2025. Penyesuaian terakhir dilakukan pada tahun 2019. Di tahun ini, Pemkab Buleleng membuat kebijakan strategis seperti memberikan insentif pengurangan atau diskon pada Lahan Produksi Pangan Berkelanjutan (LP2B). Masyarakat dengan sawah atau lahan produksi pangan/ternak diberikan tarif khusus sebesar 0,02 persen. Selain itu, pemilik lahan pertanian juga diberikan diskon PBB sebesar 90 persen.
Di Karangasem dan Klungkung, tidak ada kenaikan tarif PBB-P2. Bahkan di Karangasem, sudah 15 tahun tidak ada penyesuaian tarif. Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Karangasem, I Wayan Ardika, menyatakan bahwa ada rencana untuk menaikkan NJOP PBB-P2, namun belum disetujui oleh Bupati Gusti Putu Parwata karena potensi dampak secara politis.
Di Kabupaten Badung, PBB-P2 sudah diberikan gratis sejak tahun 2017 sesuai Peraturan Bupati Nomor 29 Tahun 2024. Namun, kebijakan ini hanya berlaku untuk lahan kosong rumah tinggal atau lahan yang tidak dikomersilkan. Kepala Badan Pendapatan (Bapenda) Badung, Ni Putu Sukarini, menjelaskan bahwa semua pengenaan pajak sesuai dengan ketetapan nantinya.
Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, mengatakan bahwa saat ini sudah ada regulasi yakni UU Nomor 28 tentang pajak dan retribusi. Dalam UU tersebut termuat tentang PBB-P2 dan atau tanpa kena pajak. Menurutnya, penyesuaian harus sesuai regulasi.
Dampak Kenaikan PBB-P2 Terhadap Masyarakat
Kenaikan PBB-P2 di Bali menimbulkan kekhawatiran terhadap maraknya alih fungsi lahan. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, menyatakan bahwa masyarakat terkejut dengan kenaikan pajak ini. Beberapa lahan kosong yang tidak produktif juga dikenakan kenaikan pajak PBB-P2, yang dapat memicu banyak warga menjual lahan mereka.
Pengamat Ekonomi Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, menyatakan bahwa kenaikan pajak hingga 10 kali lipat berdampak besar pada masyarakat. Beban pengeluaran rumah tangga meningkat, serta potensi tunggakan pajak bertambah. Kebijakan ini juga berpotensi memicu keresahan sosial dan mendorong pergeseran kepemilikan lahan.
Menurut Prof Raka, kenaikan pajak dalam kondisi ekonomi masyarakat Bali saat ini dinilai kurang tepat. Pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2024 sebesar 5,9 persen, namun masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Daya beli masyarakat masih rapuh, terutama sektor informal dan pariwisata yang baru satu tahun bangkit.
Kenaikan yang wajar berkisar 10–20 persen per tahun, sehingga masih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan tidak menimbulkan gejolak. Beberapa daerah di Indonesia menerapkan kenaikan bertahap agar masyarakat mampu beradaptasi. Jika kenaikan dilakukan di atas angka tersebut, perlu diberikan skema keringanan, misalnya pengurangan atau penundaan pajak untuk kelompok masyarakat rentan.
