Inflasi di Inggris Kembali Meningkat, Tantangan bagi Bank Sentral
Inflasi di Inggris kembali menunjukkan kenaikan pada Juli, dengan angka mencapai 3,8 persen dalam 12 bulan terakhir. Angka ini jauh melebihi target yang ditetapkan oleh Bank Sentral Inggris sebesar 2 persen. Kenaikan inflasi ini terjadi meskipun bank sentral terus mengambil langkah untuk memangkas suku bunga, sebuah keputusan yang dinilai berisiko dalam upaya menghidupkan kembali perekonomian yang stagnan.
Inflasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kenaikan harga barang dan jasa dari waktu ke waktu. Di Inggris, kenaikan harga ini diukur oleh Kantor Statistik Nasional (ONS) dengan memantau ratusan barang sehari-hari dalam keranjang belanja virtual. Daftar barang ini diperbarui secara berkala, bahkan kini mencakup matras yoga dan headset virtual reality.
Indeks Harga Konsumen (IHK), pengukuran utama inflasi, tercatat naik dari 3,6 persen pada Juni menjadi 3,8 persen pada Juli 2025. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Januari 2024. Selain itu, inflasi inti, yang tidak termasuk harga makanan dan energi yang mudah berubah, juga naik tipis dari 3,7 menjadi 3,8 persen.
Kenaikan inflasi terbaru didorong oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tarif penerbangan yang menjadi penyumbang terbesar. Kenaikan harga tiket pesawat pada Juli ini adalah yang tertinggi sejak ONS mulai mencatat data tersebut. Selain itu, kenaikan harga makanan seperti daging sapi, gula, dan kopi instan juga menjadi faktor signifikan yang terus mendorong inflasi.
Sejak mencapai puncaknya di 11,1 persen pada Oktober 2022, inflasi memang telah turun drastis. Namun, penurunan ini tidak berarti harga barang-barang menjadi lebih murah, melainkan hanya kenaikannya yang melambat. Kenaikan harga yang tajam sebelumnya dipicu oleh melonjaknya permintaan energi pasca pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina.
Biasanya, Bank Sentral akan menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi. Tujuannya adalah membuat pinjaman menjadi lebih mahal sehingga masyarakat cenderung mengurangi belanja. Hal ini diharapkan dapat mendinginkan permintaan dan memperlambat kenaikan harga. Namun, langkah ini memiliki risiko merugikan ekonomi, seperti membuat cicilan hipotek menjadi lebih tinggi dan mengurangi investasi bisnis.
Dengan inflasi yang tetap tinggi sementara ekonomi stagnan dan pasar kerja melemah, Bank Sentral Inggris memotong suku bunga sebanyak lima kali sejak Agustus 2024 hingga mencapai 4 persen. Keputusan terbaru pada Agustus diambil dengan suara tipis, menunjukkan perdebatan internal yang ketat. Masyarakat didorong agar lebih banyak berbelanja dan berinvestasi, agar dapat menggerakkan kembali roda perekonomian.
Meski upah di Inggris Raya tumbuh sebesar 5 persen antara April dan Juni, pertumbuhan riil setelah disesuaikan dengan inflasi hanya 1,5 persen. Angka lowongan kerja juga terus menurun selama tiga tahun terakhir.
Sementara itu, negara-negara lain juga menghadapi tantangan serupa. Inflasi di negara-negara pengguna Euro stabil di 2,0 persen pada Juli, dan Bank Sentral Eropa (ECB) juga telah memotong suku bunga. Di Amerika Serikat, inflasi bertahan di 2,7 persen, yang membuat bank sentral AS memilih untuk menahan suku bunga utamanya untuk kelima kalinya secara berturut-turut.
Para analis kini tidak yakin Bank akan melanjutkan pemotongan suku bunga dalam waktu dekat, mengingat keputusan terakhir yang ketat dan adanya faktor global yang tidak menentu, seperti konflik di Israel dan Iran serta potensi tarif AS.


