Perilaku Beracun dalam Hubungan yang Sering Dianggap Wajar
Tidak semua orang mengalami cinta yang sehat. Banyak dari mereka justru terjebak dalam hubungan beracun dengan pasangan yang tidak sehat. Bahaya dari hubungan seperti ini adalah bahwa para pihak yang terlibat seringkali menganggap perilaku merugikan sebagai hal yang biasa, bahkan tidak merasa perlu untuk menolaknya.
Berikut delapan perilaku beracun yang sering dianggap wajar oleh mereka yang belum pernah merasakan cinta yang sehat:
1. Mengira Konflik sebagai Keintiman
Dalam beberapa hubungan, konflik menjadi indikator keintiman. Namun, keintiman sejati justru muncul dari momen-momen sederhana seperti tawa di dapur atau percakapan ringan sebelum tidur. Ketika konflik menjadi patokan, ketenangan bisa terasa membosankan. Mereka yang terbiasa dengan pertengkaran sering kali menganggap debar jantung akibat perkelahian sebagai bukti cinta. Padahal, hubungan yang sehat justru memungkinkan kedua belah pihak untuk saling mengenal tanpa harus terus-menerus bertengkar.
2. Mencatat Skor Seperti Perlombaan
Beberapa pasangan menganggap setiap tindakan harus seimbang, seperti dalam sebuah perlombaan. Mereka mencatat siapa yang melakukan pekerjaan rumah tangga lebih dulu atau siapa yang selalu meminta maaf. Dalam hubungan sehat, memberi dan menerima terjadi secara alami. Namun, bagi yang terbiasa dengan dinamika transaksional, setiap tindakan harus dibayar. Akhirnya, cinta pun dihitung layaknya utang piutang, padahal hubungan bukanlah akuntansi.
3. Pengawasan Disamarkan Sebagai Kepedulian
Pengawasan dalam hubungan sering kali disamarkan sebagai bentuk kepedulian. Misalnya, berbagi password, melacak lokasi satu sama lain, atau sering memeriksa pesan. Tapi kepedulian sejati justru memberi ruang, bukan mencuri ruang. Transparansi harus dipilih, bukan dipaksakan. Pasangan yang sehat tetap memiliki identitas individu dan memilih untuk berbagi, bukan dipaksa menyatu tanpa batas.
4. Mengharapkan Peka daripada Komunikasi
Banyak orang mengharapkan pasangan mereka bisa membaca pikiran tanpa perlu dijelaskan. Namun, ini justru menciptakan frustrasi. Komunikasi langsung bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk menyampaikan apa yang dibutuhkan. Jika seseorang terbiasa menyiratkan kebutuhan, bukan meminta secara langsung, maka hubungan akan sulit berkembang.
5. Kritik Jadi Bahasa Cinta
Dalam hubungan yang tidak sehat, kritik sering kali menjadi cara untuk menyampaikan perasaan. Namun, jika mulut lebih cepat mengucap “Kamu selalu salah” daripada “Terima kasih”, maka kritik telah menggantikan apresiasi. Menurut penelitian Dr. John Gottman, pasangan yang bahagia cenderung fokus pada hal-hal yang bisa dihargai, sementara yang tidak bahagia justru fokus pada kesalahan.
6. Pelanggaran Batas Dianggap Bukti Cinta
Ada banyak pasangan yang menganggap pelanggaran batas sebagai tanda cinta. Mereka menggabungkan segala aspek kehidupan, termasuk media sosial, lingkaran teman, dan kehidupan pribadi. Padahal, kehilangan batas bukanlah cinta, melainkan pembunuhan karakter. Hubungan sehat adalah dua individu yang tetap utuh dan memilih satu sama lain setiap hari.
7. Konflik Tanpa Penyelesaian
Konflik dalam hubungan tidak selalu buruk, tapi bagaimana menyelesaikannya itulah yang menentukan. Jika pertengkaran kecil berubah menjadi perang besar atau diabaikan hingga menumpuk, maka hubungan tersebut tidak sehat. Bertengkar bisa produktif jika ada niat untuk mendengarkan, memahami, dan menyelesaikan masalah.
8. Cemerlang di Media Sosial Tapi Suram di Dunia Nyata
Banyak pasangan yang terlihat sempurna di media sosial, tapi hubungan mereka justru suram di dunia nyata. Setiap momen harus diabadikan dan kata-kata harus sempurna, sementara percakapan sehari-hari semakin hambar. Cinta sejati tidak butuh penonton. Ia tumbuh dari momen-momen yang tidak bisa di-posting, seperti minum kopi dalam diam atau saling tersenyum tanpa kata.
Pada akhirnya, bagi yang terbiasa dengan kekacauan, cinta yang tenang bisa terasa membosankan. Tapi tenang bukan berarti dingin. Stabil bukan berarti tidak bergairah. Dan aman bukan berarti membosankan. Cinta sehat tidak dramatis tapi penuh makna. Ia tidak membuatmu ketakutan, lelah, atau curiga. Ia membuatmu pulang, bukan bertahan.
