Pengalaman Mengunjungi Tambang Emas di Maluku Utara
PasarModern.com melakukan kunjungan ke salah satu tambang emas yang berada di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Tambang ini dikelola oleh PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) dan memiliki nama Gosowong. Perjalanan dimulai dari kota Tobelo pukul 07.00 dengan jarak sekitar 115 kilometer yang membutuhkan waktu sekitar 2 jam 15 menit.
Jalan menuju tambang tidak diaspal, hanya tanah keras yang sering berdebu karena dilalui alat-alat berat dan truk besar. Di bagian depan terdapat gerbang pos pemeriksaan di mana setiap pengunjung harus melapor sebelum bisa masuk ke area parkir. Setelah mobil masuk tempat parkir, masih ada pos penjagaan lagi di mana pengunjung akan diperiksa apa saja barang yang dibawanya. Pemeriksaan cukup ketat termasuk melihat isi tas dan membuka sepatu. Tanpa perjanjian, mustahil untuk masuk.
Di pos itulah kami dijemput oleh Glen Housthen Tasane dari divisi komunikasi NHM. Ia mengenakan rompi reflektor dan helm proyek. Glen menyambut kami dengan hangat dan menjelaskan bahwa untuk memasuki area tambang, harus ada induksi terlebih dahulu.
Induksi dilakukan di sebuah gedung yang disebut bar. Di sana kami bertiga disambut oleh Angga Tetsuya Wibisana, pemain bass band Killing Me Inside yang sekarang bekerja sebagai humas di tambang NHM. Induksi mencakup aturan keselamatan dan cara menyelamatkan diri bila terjadi kecelakaan. Kami juga diberikan Alat Pelindung Diri (APD), termasuk rompi kuning berwarna, topi proyek putih, tanda pengenal, kacamata pelindung, dan sepatu boot karet.
Setelah siap, kami diantar menuju tambang bawah tanah. Sebelumnya, masih ada pos untuk melakukan pengecekan di sebuah bangunan di depan pintu masuk tambang. Lokasi itu merupakan wewenang manajer under ground. Namanya adalah Bahrudin atau sering dipanggil Dino. Ia mengganti helm proyek putih dengan helm tambang yang memiliki lampu di bagian depannya. Kami juga melapisi rompi dengan perlengkapan lain seperti kotak keselamatan yang berisi oksigen dan baterai lampu. Semua ponsel tidak boleh dibawa ke dalam tambang karena frekuensinya dikhawatirkan memicu ledakan.
Kami juga harus meninggalkan tanda pengenal di semacam papan loker bertuliskan angka-angka yang menunjukkan lokasi tambang yang akan dikunjungi. Cara sederhana ini ternyata menjadi petunjuk siapakah yang masih ada di dalam tambang dan di mana posisinya.
Menurut cerita Dino, pada tahun 2016, seorang pekerja bernama Mursalim Sahman terjebak longsor di dalam tambang. Saat itu dia sedang bekerja di salah satu labirin yang ada di dalam tambang sendirian. Ternyata jalan masuk lorong tempatnya bekerja runtuh, sehingga dia tidak bisa keluar. “Untunglah saluran udara tidak putus dan masih mengalirkan udara ke lorong itu,” ujar Dino. “Kami menyadari ada masalah ketika tanda pengenal pegawai ini masih tergantung di papan loker. Kami segera mengirimkan tim untuk menyelamatkannya.”
Sebelum masuk tambang, Dino juga menanyakan apakah di antara kami bertiga ada yang takut terhadap ruang gelap dan sempit. Namun belakangan kami menyadari perjalanan keluar tidak akan semudah itu, karena jalannya sempit di mana mobil tidak bisa berputar. Mobil harus mundur atau mencari celah di sepanjang dinding tambang untuk berbalik.
Memasuki dunia gelap dan lembab, setelah menjelaskan fungsi alat-alat yang kami pakai, Dino mengajak kami memasuki mobil double cabin dengan bak terbuka berpenggerak 4 roda. Mobil berwarna putih ini juga dilengkapi lampu sirine di atas dan bendera tinggi di bagian depan. Perlahan mobil bergerak menuju pintu tambang, sebuah lubang gelap di antara dinding batu yang sekitarnya ditumbuhi pepohonan.
Jalanan bergelombang makin lama makin turun. Jalan itu lebarnya antara 6 hingga 8 meter, cukup untuk dilewati truk, namun tidak bisa berpapasan. Ketinggiannya juga sekitar 8 meter dengan dinding yang dilapisi sejenis semen yang dicampur bahan kimia untuk menguatkan agar tidak mudah runtuh. Di sana juga dipasang besi serupa jangkar dan kawat-kawat untuk menahannya.
Setelah beberapa ratus meter, cahaya Matahari dari pintu sudah tidak lagi menerangi. Kami hanya mengandalkan lampu di depan mobil dan di atas yang berputar seperti sirine. Bila lampu dimatikan, hanya kegelapan saja yang ada. Pekat, tak ada yang terlihat, bahkan telapak tangan sendiri.
Semakin maju ke dalam, jalan makin turun dan suasana pengap dan gerah mulai terasa. Jalan menjadi bercabang-cabang membentuk labirin membingungkan. Setiap beberapa ratus meter terlihat lorong yang dibuat mengikuti jalur emas. Ujungnya bisa panjang atau pendek tergantung kandungan emas di batuan. Kadang-kadang ada cabang lain di dalamnya jika ditemukan emas di sana.
Dino membawa kami menuju salah satu lorong berkelok yang memiliki aliran udara kuat. Udara itu berasal dari pipa-pipa besar yang ujungnya diberi kipas raksasa untuk menyalurkan udara ke dalam tambang. Ketika kami keluar dari mobil, hembusan udara terasa sejuk. Sepatu karet kami menginjak tanah basah.
“Nyalakan lampu di helm agar bisa melihat keliling,” ujar Dino, dan kami ternyata berada di ujung sebuah lorong yang batuan di tepiannya sudah diberi beberapa lubang, menunggu dipasangi peledak untuk diruntuhkan dan diambil batuannya yang mengandung emas.
Belakangan kami dijelaskan oleh Alim, manajer bagian Mills atau pengolahan bahan tambang, bahwa dari setiap ton batuan yang diambil dari dalam tambang, kandungan emasnya hanya sekitar 7-8 gram.
Dino juga menjelaskan bahwa setiap lorong yang selesai ditambang akan ditutup lagi sebelum dibuat lorong lain di sebelahnya. Hal ini bertujuan agar tambang tidak mudah runtuh. “Metode yang kami pakai adalah cut and fill, yaitu mengambil material (cut) untuk diolah, lalu ruang kosong bekas galian itu diisi lagi (fill),” ujar Dino.
Di bagian dinding tambang yang hendak diledakkan, kami melihat batuan berwarna keemasan. Apakah itu emas? Menurut Dino, batuan yang mengandung emas justru berwarna gelap dengan beberapa semburat putih. Sementara titik-titik berkilauan di batuan yang tercecer di lantai tambang adalah kuarsa.
Meski ingin membawa kenang-kenangan, sejak awal Dino mewanti-wanti agar tidak mengambil apapun di tambang. “Kalau kita ambil batu dari dinding, teman-temannya bisa ngikut,” ujar Dino. Artinya dinding bisa saja runtuh.
Setelah sampai di ujung lorong, mobil mengarah ke depan lagi menuruni tambang. “Kita kurang lebih berada di kedalaman 200 hingga 300 meter dari permukaan tanah,” jelas Dino. Beberapa kali mobil kami harus menepi mencari cekungan saat truk bermuatan bahan tambang dari bawah bergerak menuju ke atas. Lampunya menyilaukan dan suara mesinnya menggeram seperti monster dari perut Bumi yang merangkak keluar.
Melewati berbagai simpangan di labirin yang membingungkan, kami sampai ke ujung salah satu terowongan di mana seorang pegawai sedang bekerja dengan jumbo drill. Bunyi mesin bor yang melobangi dinding tambang memekakkan telinga, sehingga kami harus menutupinya. Saya membayangkan bekerja sendiri di ujung lorong gelap seperti itu pasti menyeramkan. Namun bagi para pekerja, itu adalah rutinitas mereka setiap hari.
“Tambang yang ini masih lebih mudah dan jauh lebih nyaman dibanding lubang satunya, yang bernama Toguraci,” kata Dino. “Di sana, di dalamnya ada sumber air panas, sehingga suhu bisa mencapai 80 derajat Celsius. Kita harus sering masuk mobil untuk mendinginkan tubuh dan minum banyak air, bila bekerja di sana.”
Tak terasa kami sudah hampir satu jam berada di dalam tambang. Dan itu belum setengahnya. “Kalau mau berkeliling, mungkin perlu waktu sampai 4 jam di dalam,” kata Dino. “Karena waktunya tidak banyak, kita kembali ke atas ya,” lanjutnya. Dalam hati saya merasa lega karena suasana perut bumi yang gelap dan pengap sudah mulai membuat kami gentar dan sakit kepala.
Entah berapa tikungan dan simpangan kami lalui, sebelum akhirnya kami melihat titik cahaya di ujung: jalan keluar!
Perjalanan menanjak tiba-tiba terasa melegakan karena cahaya makin terang yang kami lihat seperti kabar gembira yang datang mengusir suasana muram.
Namun, sebelum benar-benar meninggalkan tambang, pemeriksaan terakhir kembali dilakukan. Begitu mobil keluar dari pintu tambang, kami harus berhenti di pos, di mana semua bagian diperiksa. Bahkan kap mesin mobil pun dibuka, termasuk sepatu, saku, dan helm yang kami kenakan. Tidak ada sebutir kerikil pun yang boleh keluar tanpa ijin dari dalam tambang.
Dalam hati saya berpikir, layaklah jika emas harganya mahal. Mengambilnya saja perlu perjuangan. Bisa jadi cincin yang kita pakai, untuk mendapatkannya orang perlu mencari, menggali, meledakkan batu, dan memisahkan emasnya menggunakan berbagai mesin dan bahan untuk mendapatkannya. Dan satu cincin itu mungkin berasal dari 1 ton batu yang diambil dari gelapnya perut Bumi.


