Konstitusi dan Keadilan Pajak Digital
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Tidak hanya sebagai retorika hukum, pasal ini menjadi fondasi nilai yang menegaskan bahwa seluruh sumber daya ekonomi, baik fisik maupun digital, harus dikelola demi kesejahteraan rakyat. Dalam era ekonomi digital, istilah “kekayaan alam” kini mencakup data, akses pasar, dan aktivitas digital yang bernilai tinggi.
Dengan demikian, sistem perpajakan Indonesia harus menjamin bahwa keuntungan dari ekosistem digital nasional kembali memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Di sinilah keadilan pajak menjadi prioritas moral dan kebijakan.
PPN PMSE: Langkah Realistis, Tapi Bukan Tujuan Akhir
Sejak 2020, Indonesia menerapkan Pajak Pertambahan Nilai atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE). Kebijakan ini bertujuan untuk memungut pajak dari penjualan barang dan jasa digital oleh pelaku usaha luar negeri kepada konsumen di dalam negeri, seperti platform streaming, aplikasi berlangganan, dan perangkat lunak.
Langkah ini muncul di tengah tantangan global tentang pajak digital. Awalnya, ada rencana untuk memajaki langsung laba perusahaan digital asing melalui skema Pajak Transaksi Elektronik (PTE), namun karena kesulitan implementasi, pemerintah beralih ke PPN sebagai solusi yang lebih mudah diterapkan.
Hasilnya cukup menggembirakan. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak, hingga Juli 2025, Indonesia telah berhasil mengumpulkan Rp30,08 triliun dari PPN PMSE. Angka ini membuktikan bahwa PPN PMSE adalah langkah pragmatis di tengah ketidakpastian global.
Namun, meskipun memberikan kontribusi jangka pendek, apakah PPN PMSE benar-benar solusi adil dan berkelanjutan? Sebagai pajak atas konsumsi, PPN memiliki sifat regresif yang cenderung membebani kelompok berpenghasilan rendah, yaitu mereka yang menghabiskan proporsi pengeluaran lebih besar untuk layanan digital yang kini menjadi kebutuhan esensial.
Ironisnya, keuntungan besar yang dinikmati oleh perusahaan digital asing justru tidak tersentuh oleh pajak penghasilan di negara pasar. Ini memicu pertanyaan mendasar: apakah sistem perpajakan kita hanya efektif menarik pajak dari pengguna, tapi gagal menghadapi pemilik keuntungan?
Strategi Ganda untuk Penerimaan dan Keadilan
Tantangan perpajakan digital tidak hanya terletak pada sisi konsumsi. Akar ketimpangan terletak pada belum adanya pemajakan yang adil atas laba global perusahaan digital oleh negara tempat pasar berada. Untuk menjawab hal ini, komunitas internasional kini menaruh harapan pada implementasi Pilar Satu OECD, khususnya Amount A, yang dirancang untuk merelokasi hak pemajakan kepada negara pasar atas keuntungan grup usaha multinasional yang memenuhi ambang batas tertentu.
Namun, proses implementasi Amount A terbukti panjang dan berliku. Sejak Juni 2024, progresnya stagnan. Amerika Serikat, sebagai negara kunci, belum menunjukkan komitmen untuk meratifikasi kesepakatan tersebut. Bahkan, cakupan Amount A telah dipersempit, sehingga hanya sekitar 78 perusahaan global yang akan terdampak. Hal ini membuat Indonesia berisiko kehilangan potensi fiskal dari banyak perusahaan digital lain yang tidak termasuk dalam cakupan tersebut.
Di sinilah muncul urgensi untuk mempertimbangkan opsi alternatif seperti Digital Services Tax (DST), sebuah bentuk pajak atas layanan digital yang sudah diterapkan di beberapa negara Eropa. Meski DST bersifat unilateral dan belum menjadi bagian dari kerangka global seperti Amount A, banyak negara menerapkannya sebagai solusi sementara untuk mengatasi “free rider problem” dalam ekonomi digital.
DST dapat membantu menyeimbangkan struktur perpajakan digital secara adil. Saat ini, hanya pelaku usaha dan konsumen Indonesia yang secara langsung menanggung beban pajak digital melalui PPN. Dengan DST, perusahaan asing yang mengambil nilai ekonomi dari pasar Indonesia akan ikut menanggung beban fiskal tersebut.
Menegakkan Keadilan Pajak Digital, Sekarang dan ke Depan
Semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus terus menjadi panduan bahwa semua sumber daya dan potensi ekonomi, termasuk data, platform digital, dan transaksi daring, harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya segelintir elite teknologi global. Rakyat berhak melihat bahwa sistem pajak berdiri melindungi mereka, bukan sekadar menekan mereka.
Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia idealnya mengadopsi strategi ganda. Memaksimalkan PPN PMSE sebagai sumber jangka pendek-menengah dan membangun fondasi hukum untuk DST serta kesiapan menuju implementasi Pilar Satu. PPN PMSE telah menjadi langkah awal, tetapi bukan garis akhir. Kini saatnya Indonesia menegakkan hak fiskalnya melalui kebijakan seperti DST, agar rakyat tidak lagi sendirian menanggung beban. Karena dalam negara yang adil, semua yang mengambil nilai dari rakyat harus turut menyumbang untuk rakyat.


