Sejarah dan Misteri di Balik Masjid Jami Matraman
Masjid Jami Matraman, yang terletak di Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, bukan hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga menjadi saksi bisu dari dua momen penting dalam sejarah bangsa. Letaknya yang tidak jauh dari Tugu Proklamasi menjadikannya sebagai lokasi yang memiliki makna historis yang mendalam.
Sejarah Masjid Jami Matraman tidak bisa dipisahkan dari perjuangan Sultan Agung melawan VOC. Pada tahun 1628 dan 1629, ribuan pasukan Mataram memilih wilayah ini sebagai basis perjuangan untuk membebaskan Batavia. Meski dua kali penyerbuan gagal, nama Mataram tetap melekat hingga kini. Dari sini, lahir nama wilayah dan jalan Matraman yang kita kenal sekarang.
Di tepi Kali Ciliwung, sisa-sisa laskar Sultan Agung yang tidak kembali ke kampung halaman membangun langgar sederhana pada tahun 1820. Pada tahun 1837, dua keturunan Mataram, Bustanul Arifin dan Mursalun, mengubah gubuk kecil itu menjadi masjid dengan nama Masjid Jamik Mataraman Dalem. Artinya, “masjid jami milik para abdi dalem Kerajaan Mataram”. Seiring waktu, namanya disingkat menjadi Masjid Jami Matraman.
Kepala Rumah Tangga Masjid Jami Matraman, H. Syamsudin, menjelaskan bahwa istilah “Matraman Dalem” merujuk pada “masjid jami para abdi dalem” atau para pengikut Kerajaan Mataram. Ia menekankan bahwa informasi tentang peristiwa sejarah di masjid ini berasal dari cerita-cerita lisan para orang tua terdahulu.
Misteri Bung Karno dan Salat Jumat Usai Proklamasi
Masjid Jami Matraman juga dikenal sebagai tempat Bung Karno melaksanakan salat Jumat pertama setelah membacakan teks Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Meskipun tidak ada bukti tertulis, cerita ini tetap hidup di kalangan warga sekitar.
Syamsudin menyampaikan bahwa ada tiga versi cerita terkait Bung Karno pasca pembacaan naskah proklamasi. Pertama, Soekarno mengikuti salat Jumat bersama di Masjid Jami Matraman. Kedua, ia tidak ikut karena kondisi kesehatannya. Dan ketiga, Soekarno langsung pergi menggunakan kereta usai pembacaan Proklamasi.
Menurut Syamsudin, versi ketiga ini paling yakin. Ia mengatakan bahwa Pak Candrian Attahiyat pernah berkunjung dan menceritakan bahwa di belakang rumah Bung Karno sudah ada kereta yang menunggu. Setelah membacakan Proklamasi, kereta langsung berjalan.
Masjid Langganan Tokoh Nasional
Sebelum Proklamasi, Bung Karno sering salat di masjid ini bersama tokoh lain seperti Bung Hatta. Setelah salat, mereka kerap berdiskusi di sekitar area masjid. Oleh karena itu, banyak orang menyebut Masjid Jami Matraman sebagai Masjid Bung Karno. Syamsudin mengingat bahwa dulu masjid ini dianggap sebagai tempat elite.
Pengangkatan Pejabat Negara Setelah Salat
Masjid Jami Matraman juga memiliki cerita unik lainnya. Syamsudin mengungkapkan bahwa banyak tokoh nasional yang diangkat menjadi pejabat negara setelah salat di masjid ini.
Salah satu contohnya adalah almarhum Basofi Sudirman. Setelah pensiun, ia datang salat di Masjid Jami Matraman dan beberapa waktu kemudian diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur. Hal serupa juga dialami Sutiyoso, yang setelah pensiun sebagai Gubernur DKI Jakarta, salat di masjid ini dan kemudian diangkat menjadi Kepala BIN.
Anies Baswedan juga memiliki kisah serupa. Tiga pekan sebelum Pemilihan Gubernur DKI, Anies datang salat Ashar bersama Syamsudin. Meski awalnya tidak diunggulkan, akhirnya ia terpilih sebagai Gubernur. Namun, saat Pilpres 2024, Anies tidak lagi datang salat.
Sandiaga Uno pun memiliki kisah serupa. Setelah kalah dalam Pilpres 2019, ia datang salat di masjid ini dan seminggu kemudian diangkat menjadi Menteri Pariwisata. Mahfud MD juga mengalami hal yang sama. Setelah salat Jumat, ia diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Indonesia.
Al-Quran Raksasa yang Misterius
Masjid Jami Matraman juga menyimpan peninggalan langka, yaitu Al-Quran berukuran raksasa yang ditulis di atas kertas dan daun lontar. Penemuan ini bermula ketika pengurus masjid menemukan dua karung besar yang ditinggalkan pemiliknya di area masjid.
Paket karung itu disimpan di dalam gudang tanpa dibuka selama puluhan tahun. Setelah dibuka, ternyata isinya adalah empat Al-Quran besar. Dua di antaranya ditulis di atas kertas dan dua lainnya di atas anyaman daun lontar. Kondisinya masih bagus meskipun telah bertahun-tahun.
Al-Quran ini kini menjadi ikon di masjid tersebut dan telah dimasukkan ke dalam etalase agar dapat dilihat oleh pengunjung. Tinta pada Al-Quran ini masih jelas, meskipun tidak ada yang tahu pasti siapa yang menulisnya.


