Kebutuhan untuk Berada di Alam
Ada masa ketika duduk terlalu lama di kamar membuat pikiran terasa sempit. Bukan karena tidak bersyukur memiliki tempat tinggal, tapi karena tubuh dan jiwa merasa membutuhkan ruang yang lebih luas. Mata ingin melihat hijau, telinga ingin mendengar suara alam, bukan notifikasi ponsel atau kebisingan kendaraan di luar pagar rumah. Namun bagi sebagian orang, terutama yang masih tinggal bersama orang tua, keinginan sederhana ini sering kali sulit diwujudkan.
Izin untuk pergi ke alam terbuka, bahkan hanya untuk sehari, bisa menjadi hal yang menyulitkan. Sebagai anak yang tumbuh dalam budaya Timur, kita dibesarkan dengan pola asuh yang mengedepankan kehati-hatian, terutama soal perempuan yang bepergian. Terkadang, tujuan seperti jalan-jalan ke gunung, pantai, atau hutan bersama teman dianggap penuh risiko. Padahal niatnya bukan mencari bahaya, hanya ingin melepas penat dan mencari ruang yang bisa membuat pikiran lebih jernih. Sayangnya, banyak orang tua masih menganggap kebutuhan ini sebagai sesuatu yang bisa ditunda atau bahkan tidak penting.
Fenomena ini tidak hanya dialami oleh satu dua orang. Banyak pemuda di luar sana juga merasa terjebak dalam dilema yang sama. Mereka ingin menjaga kepercayaan orang tua, tetapi juga ingin menjaga kesehatan mental mereka sendiri. Dilema ini sering kali membuat mereka menyembunyikan perasaan, padahal menurut data dari World Health Organization (WHO), berinteraksi dengan alam memiliki dampak positif besar terhadap kesehatan mental. Paparan alam terbuka terbukti mampu menurunkan tingkat stres, meningkatkan suasana hati, serta menambah kreativitas. Artinya, keinginan untuk “main ke alam” bukanlah hal sia-sia atau sekadar tren. Itu adalah bentuk self-care yang sah.
Kebutuhan akan alam muncul karena terlalu lama berada dalam rutinitas yang stagnan. Apalagi sejak pandemi, kita semakin sering berada di rumah, melakukan aktivitas melalui layar, dan cenderung kehilangan hubungan dengan dunia nyata. Oleh karena itu, wajar jika saat ini banyak orang muda merasa ingin kembali terhubung dengan alam dan lingkungan sosial secara langsung. Masalahnya, kebutuhan ini belum tentu dipahami semua orang, terutama oleh generasi yang melihat healing hanya sebagai pelesiran.
Seringkali kita hanya butuh ruang untuk berkata, “pingin ke luar sebentar, bukan karena aku tidak betah di rumah, tapi karena aku ingin menjaga diriku sendiri.” Tapi sayangnya, itu tidak semudah kelihatannya. Bagi beberapa orang, menyuarakan keinginan ini membutuhkan keberanian besar karena takut dianggap egois, keras kepala, atau tidak paham tanggung jawab.
Menyeimbangkan antara keinginan pribadi dan restu keluarga memang tidak mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Salah satu cara yang bisa dicoba adalah menjelaskan dengan perlahan bahwa tujuan pergi ke alam bukan hanya untuk senang-senang, tetapi juga untuk merawat kesehatan mental yang lelah. Tunjukkan bahwa kita tetap bertanggung jawab, sadar akan batasan, dan tidak berniat “lepas kontrol” saat berada di luar.
Pada akhirnya, pergi ke alam bukanlah bentuk pelarian, tetapi usaha untuk pulang dengan versi diri yang lebih utuh. Karena manusia memang membutuhkan ruang untuk merasa bebas, apalagi di tengah dunia yang semakin bising dan cepat. Jika hari ini belum bisa pergi, semoga nanti ada waktu dan kepercayaan yang tumbuh, untuk membiarkan kita berjalan sebentar ke alam tempat di mana kita bisa diam, mendengar, dan mengisi ulang hati yang mulai lelah.
