Narasi Pemerintah dan Kekhawatiran Masyarakat dalam Konteks Demokrasi
Dalam perayaan 80 tahun kemerdekaan, tidak ada yang mengejutkan bagi sebagian masyarakat. Yang terasa justru keheranan terhadap narasi yang disampaikan oleh para pemimpin. Di tengah rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, harga bahan pokok yang melonjak, serta sulitnya mencari pekerjaan, elite kekuasaan justru membangun narasi tentang keberhasilan pemerintahan.
Narasi tersebut dapat dilihat dari pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025 lalu. Dengan optimisme tinggi, ia menyebut bahwa kabinet Merah Putih berhasil mengatasi berbagai masalah sosial. Dari ketersediaan pangan hingga program Makan Bergizi Gratis (MBG), semuanya dianggap sukses. Namun, tidak ada pengakuan atas kesalahan manajemen atau kegagalan dalam penerapan kebijakan.
Sebagai presiden, tugasnya adalah menyampaikan narasi positif. Tidak mungkin ia membuka tema kegagalan dalam pidato. Sayangnya, narasi ini justru meruntuhkan semangat masyarakat yang sedang berjuang. Alih-alih membangkitkan motivasi, pidato itu justru mengabaikan realitas yang dihadapi rakyat.
Di kasus lain, masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menunjukkan ketidakpuasan terhadap Bupati Sudewo. Penetapan pajak bumi dan bangunan yang naik 250 persen menjadi awal tuntutan pemakzulan. Hal serupa juga terjadi di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Meski belum semua masyarakat melakukan tindakan, mereka masih mencari momen yang tepat untuk menyuarakan kekecewaan.
Presiden tidak menyebut kenaikan pajak sebagai keberhasilan pemerintahan. Namun, komentar miring terhadap pidatonya menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap praktik berbangsa dan bernegara. Meskipun pemberantasan korupsi dilakukan, korupsi masih terjadi di beberapa kementerian dan lembaga. Program MBG juga sering menimbulkan masalah, seperti keracunan siswa akibat makanan dari dapur MBG.
Kesulitan mencari lapangan kerja harus diakui. Namun, arogansi elite kekuasaan dalam menaikkan pajak menjadi sumber kekecewaan. Pertanyaan penting muncul: apa yang salah dengan perilaku elite kekuasaan?
Pertanyaan ini relevan karena dalam sistem demokrasi, kepemimpinan dipilih melalui pemilihan umum. Seharusnya, pemimpin yang terpilih tidak memiliki alasan untuk gagal menjalankan amanah. Faktanya, banyak pemimpin hasil pemilu gagal memenuhi harapan rakyat. Inilah alasan mengapa masa suram demokrasi hadir di Indonesia saat ini.
Pemilu dan Kegagalan Demokrasi
Pertanyaan di atas memicu diskusi tentang tesis Alexander Guerrero (2024) tentang sumber utama masalah politik kontemporer. Menurut Guerrero, masalah utama bukanlah pemilu itu sendiri, tetapi bagaimana pemilu digunakan. Ia menyatakan bahwa pemilu gagal membangun akuntabilitas demokrasi. Pemilu hanya memberikan insentif jangka pendek, bukan fondasi jangka panjang.
Akibatnya, para politisi cenderung mengabaikan masalah jangka panjang. Solusi yang diberikan pun bersifat sementara. Pemilu yang dilakukan di masyarakat yang masih berkonsolidasi hanya menghasilkan konflik horizontal. Elite yang menang akan mengendalikan proses politik, termasuk menentukan siapa yang menang atau kalah dalam kontestasi.
Guerrero menyoroti bahwa dalam rezim pemilu, mereka yang berkuasa akan mengatur kebijakan tanpa berkonsultasi dengan pihak lain. Masalah yang dianggap tidak penting diabaikan. Ini menjadi kewajaran dalam sistem yang dijalankan.
Konteks Kita
Dengan demikian, hubungan antara narasi optimistik pemerintah dengan masalah sosial masyarakat menjadi jelas. Sistem politik perlu diubah agar pemilu tidak hanya memilih pemimpin lima tahunan, tetapi merumuskan agenda besar bangsa puluhan tahun ke depan.
Kontrol atas kelompok yang mendapatkan kekuasaan menjadi catatan penting. Narasi optimis pemerintah perlu diimbangi oleh kelompok politik penyeimbang, baik di lembaga legislatif maupun di luar. Mereka berusaha memberikan masukan obyektif.
Contohnya, jika MBG terlalu mahal, bisa dicari solusi lain yang lebih murah. Jika masyarakat masih mengeluh, pemerintah perlu diingatkan untuk tidak menaikkan pajak. Fatal jika DPR berada dalam satu garis lurus dengan pemerintah.
Jika rezim pemenang pemilu berdiri tegak dan mempertontonkan arogansinya, tidak ada ruang untuk diskusi. Suara dari luar dianggap angin lalu. Demokrasi deliberatif masih menjadi utopia di Indonesia saat ini.
Meskipun Presiden Prabowo memiliki kelebihan, ia tengah memperkuat diri sebagai tokoh sentral hasil pemilihan umum. Demokrasi pun berada di titik nadir ketika kekuasaan terlalu dominan. Itu urusan pemenang pemilu. Hanya, jika ini yang terjadi, kita masih harus berjuang dalam situasi kesuraman demokrasi.


