KPK: RKUHAP Bisa Hambat Perang Melawan Korupsi, Terutama Penyadapan

Posted on

KPK Mengkritik RKUHAP yang Dinilai Tidak Selaras dengan Upaya Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap sejumlah kekhawatiran terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas oleh Komisi III DPR bersama pemerintah. Melalui berbagai forum diskusi dan pembahasan bersama para ahli, KPK menemukan beberapa ketentuan dalam RKUHAP yang dinilai tidak sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga tersebut dalam memerangi korupsi.

Menurut juru bicara KPK Budi Prasetyo, selama proses pembahasan RUU Hukum Acara Pidana, beberapa poin penting diidentifikasi sebagai kontradiktif atau tidak sejalan dengan operasional KPK selama ini. Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah aturan penyadapan.

Aturan Penyadapan yang Menimbulkan Kekhawatiran

Dalam draf RKUHAP disebutkan bahwa penyadapan hanya boleh dilakukan pada tahap penyidikan dan harus mendapatkan izin dari pengadilan setempat. Namun, praktik yang selama ini dilakukan oleh KPK berbeda. Penyadapan yang dilakukan KPK biasanya dimulai sejak tahap penyelidikan tanpa memerlukan izin dari pengadilan.

Budi menjelaskan bahwa jika penyadapan hanya diperbolehkan saat penyidikan, maka KPK tidak bisa melakukan penyadapan selama tahap penyelidikan. Padahal, penyadapan sangat penting untuk mengumpulkan informasi atau keterangan yang dibutuhkan dalam proses penyelidikan. Dalam konteks KPK, penyadapan juga digunakan untuk menemukan sedikitnya dua alat bukti.

“Penyadapan ini penting untuk mendapatkan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh penyelidik, baik untuk menemukan peristiwa tindak pidananya, ataupun dalam konteks KPK untuk menemukan setidaknya dua alat bukti,” ujar Budi.

Akuntabilitas dan Pengawasan Penyadapan

Meski demikian, KPK menegaskan bahwa semua aktivitas penyadapan dilakukan secara akuntabel dan tetap berada dalam koridor hukum yang diawasi oleh lembaga pengawas internal, yaitu Dewan Pengawas KPK. Setiap penyadapan yang dilakukan oleh KPK selalu diaudit dan dilaporkan kepada Dewan Pengawas.

“Penyadapan ini dipastikan memang betul-betul untuk mendukung penanganan perkara di KPK,” tambah Budi.

Perbedaan Definisi dan Wewenang Penyelidik

Selain itu, KPK juga menyoroti perbedaan definisi dan wewenang penyelidik dalam RKUHAP dibandingkan dengan yang berlaku di internal lembaga antirasuah tersebut. Di KPK, penyelidik memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan penyelidik, serta bertugas mencari peristiwa tindak pidana sekaligus menemukan sedikitnya dua alat bukti.

Sementara itu, dalam RKUHAP, penyelidik hanya diberi wewenang untuk mencari peristiwa tindak pidana. Hal ini dinilai tidak cukup untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi secara efektif.

Masukan dan Kritik Lainnya

Budi menambahkan bahwa KPK masih terus mengidentifikasi beberapa poin lain dalam RKUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ia menyatakan bahwa KPK akan memberikan masukan terkait RKUHAP yang sedang dibahas oleh Komisi III DPR dan pemerintah.

“Masih ada beberapa poin lagi yang kami memandang, ada beberapa hal yang perlu untuk nanti kami sampaikan tentunya sebagai masukan. Tentu kita semua berharap bahwa KUHAP nantinya juga bisa menjadi payung hukum, di antaranya untuk upaya-upaya menegakkan hukum pemberantasan korupsi yang lebih efektif,” ujarnya.

Keterlibatan Publik dalam Pembahasan RKUHAP

Lebih lanjut, Budi memastikan bahwa KPK akan menyampaikan setiap masukan dari publik terkait pembahasan RKUHAP yang sedang berlangsung. Ia menegaskan bahwa KPK akan berkomitmen untuk memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan RKUHAP.

“Oleh karena itu KPK akan menyampaikan masukan-masukan yang saat ini masih berproses dibahas di internal nantinya kepada pemerintah,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *