Konflik Manusia vs Buaya di Aceh Singkil, Banyak Korban Tumbang

Posted on

Konflik Berkepanjangan antara Warga Aceh Singkil dengan Buaya

Selama hampir dua dekade, warga di Kabupaten Aceh Singkil menghadapi konflik yang terus berlangsung dengan buaya. Tidak hanya menyebabkan luka fisik, serangan-serangan buaya juga menimbulkan korban jiwa. Selama 18 tahun terakhir, tidak ada resolusi yang signifikan untuk mengakhiri konflik ini.

Pemangku kebijakan cenderung bertindak reaktif setelah terjadi korban. Misalnya, perangkap ditempatkan di lokasi tempat warga menjadi korban, tetapi setelah situasi membaik, pembahasan penanganan buaya kembali dilupakan. Ketika kembali terjadi korban, masalah ini kembali ramai dibicarakan.

Ide pembuatan lokasi penangkaran buaya muncul pada tahun 2015 sebagai solusi untuk mengurangi populasi buaya di belakang stadion Kasim Tagok, di Ketapang Indah, Kecamatan Singkil Utara. Namun, ide ini hanya sebatas wacana dan belum terealisasi.

Riwayat Konflik dengan Buaya

Konflik manusia dengan buaya pertama kali tercatat pada tahun 2007. Korban pertama adalah Ijah, seorang perempuan pencari lokan dari Desa Takal Pasir, Kecamatan Singkil. Jasadnya ditemukan mengambang di sungai dengan luka robek di kepala dan tangan patah. Setelah kejadian itu, warga menangkap buaya dan membawanya ke kantor bupati sebagai bentuk protes.

Kemudian, pada 29 Maret 2015, seorang pencari lokan bernama Yusril hilang dimangsa buaya di sungai Singkil. Saksi mata dalam peristiwa tersebut adalah anak dan istri korban. Jasad korban tidak pernah ditemukan. Saat itu, warga sempat mengamuk dan melakukan perburuan terhadap buaya, termasuk membakar seekor buaya yang berhasil ditangkap.

Konflik ini tidak hanya terjadi di sungai Singkil, tetapi juga menyebar ke Desa Kuala Baru Sungai, Kecamatan Kuala Baru. Seorang kakek berusia 69 tahun diserang buaya saat sedang buang hajat di sungai belakang permukiman penduduk.

Tidak hanya di daerah aliran sungai, konflik manusia dengan buaya juga terjadi di lautan yang masuk wilayah Kecamatan Pulau Banyak Barat. Di sana, serangan buaya telah merenggut lebih dari tiga nyawa.

Terbaru, konflik manusia dengan buaya terjadi pada awal 2025. Pada 27 Januari 2025, Kaetek, seorang perempuan berusia 51 tahun asal Desa Teluk Rumbia, Kecamatan Singkil, diterkam buaya. Meskipun selamat setelah mendapat perawatan, ia menderita luka bekas gigitan di lengan. Korban kedua adalah Sawiyah (63), yang ditemukan meninggal setelah sempat hilang diterkam buaya.

Penyebaran Habitat Buaya

Habitat buaya di Kabupaten Aceh Singkil tersebar di rawa, muara, sungai, dan laut. Bahkan, mereka mulai merambah ke daerah hulu sungai, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dulu, habitat buaya umumnya terletak di muara, sungai, dan rawa di wilayah Singkil, ibu kota kabupaten.

Di kawasan Singkil Lama, buaya mudah ditemukan hanya dengan menelusuri sungai di belakang permukiman penduduk. Di kawasan tersebut, sekali melintas bisa dilihat puluhan buaya berjejer di sela rimbun nipah.

Sebaran buaya juga terjadi di sungai di belakang permukiman penduduk Desa Rantau Gedang, Teluk Rumbia, dan Lae Treup di kawasan Suaka Marga Satwa Rawa Singkil. Di Kecamatan Kuala Baru, habitat buaya terdapat di aliran sungai seperti Banda Sampit hingga Ulu Bubu.

Sementara itu, habitat buaya air asin terdapat di sekitar perairan Kecamatan Pulau Banyak Barat. Camat Pulau Banyak Barat, Mawardi, menyebutkan bahwa habitat buaya di sana antara lain sekitar Pulau Orongan, Matahari, Luan Sawit, Pulau Samut, dan Pulau Bangkaru.

Upaya Pengendalian Populasi

Warga Aceh Singkil berharap populasi buaya dikurangi agar tidak terus terjadi konflik dengan manusia. Salah satu cara yang diusulkan adalah memindahkan buaya liar ke tempat penangkaran. Nelayan berharap buaya bisa ditangkap dan dipelihara di tempat penangkaran.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil, Taufik, mendesak pihak terkait menangani konflik manusia dengan buaya secara serius sebelum kembali jatuh korban. Ia khawatir masyarakat akan bertindak sendiri jika tidak ada penanganan yang efektif.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Aceh Singkil, Drs Saiful Umar, MSi, mengakui bahwa pemerintah daerah belum mengambil langkah pengendalian populasi buaya secara efektif. Penyebabnya adalah ketidakjelasan regulasi dan kewenangan penanganan buaya. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 mengubah kewenangan penanganan konflik buaya dari BKSDA ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pemerintah daerah. Namun, hingga kini belum ada aturan teknis pelaksanaannya, sehingga sulit melakukan respon cepat saat konflik terjadi.