Indonesia memiliki banyak ilmuwan yang sukses di luar negeri. Salah satu contoh adalah Sastia Prama Putri, seorang ilmuwan dari Jakarta yang menjadi orang asing pertama yang menerima penghargaan Ando Momofuku.
Sastia mendapatkan Ando Momofuku Award atas penelitiannya tentang penemuan senyawa aktif dalam tempe yang dapat mengurangi kolesterol. Namun, ternyata Sastia tidak pernah bermimpi menjadi ilmuwan sejak awal.
.
Sastia mengatakan, ketika masih duduk di bangku sekolah dia senang bertanya hal-hal tentang sains. Ketertarikan Sastia pada sains itu dilihat oleh ayahnya yang kemudian mendorongnya untuk mengambil jurusan biologi di ITB.
“Jadi akhirnya saya pindah ke Bandung untuk mengambil jurusan biologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan kuliah di sana selama 4 tahun. Alhamdulillah, menjelang lulus, saya mendapatkan tawaran dari pemerintah Jepang, ada program yang bernama UNESCO Inter-University Course for Biotechnology,” ujarnya.
Sastia menawarkan beasiswa penuh dari pemerintah Jepang untuk S2 dan S3 selama di Jepang.
“Tapi syaratnya memang harus pulang dulu ke Indonesia, lalu apply nanti dari Kedutaan Jepang gitu, ya, terus nanti dapat pembekalan, lalu berangkat lagi ke Jepang,” ujarnya.
Pada tahun 2006, Sastia kembali ke Jepang untuk menempuh pendidikan S2 dan S3. Meskipun demikian, Sastia mengungkapkan bahwa ada tantangan yang dihadapi saat menempuh S2 dan S3.
“Tapi ternyata karena punya anak, akhirnya menunda dulu untuk pindah ke negara lain, ya, untuk mencari pekerjaan di Jepang,” ungkapnya.
Saat ini, seorang wanita yang memiliki dua anak itu akhirnya memutuskan untuk bekerja di Jepang hanya untuk mendapatkan visa kerja. Ia kemudian ditawari pekerjaan oleh profesor dan mentornya sendiri.
“Awalnya, aku tidak berencana untuk tinggal di Jepang. Namun, berbagai kejadian dalam hidup itu akhirnya membuat aku berpikir bahwa ini masih merupakan tempat yang paling baik untuk aku tinggal,” katanya.
Mengapa Sastia Belum Ingin Kembali ke Indonesia?
Tak terasa, sudah 20 tahun lebih Sastia tinggal di Jepang. Meski masih berstatus sebagai warga negara Indonesia, Sastia belum mau pulang ke Indonesia. Sastia kemudian mengomentari soal pihak-pihak yang mempertanyakan nasionalisme warga negara Indonesia yang lebih memilih tinggal dan berkarier di luar negeri.
“Banyak orang yang salah paham arti nasionalis, ya. Kadang-kadang orang mengatakan orang di luar negeri tidak nasionalis, tapi sebenarnya hampir 2 dari 3 pendapat saya di paper saya itu mendukung instansi Indonesia,” ungkap Sastia.
Menurut penelitian yang dilakukannya, ia membawa instansi Indonesia untuk berkolaborasi sehingga penelitian mereka dapat dipublikasikan di Jurnal Internasional yang terindeks Scopus, khususnya di kategori Quartile 1 dan Quartile 2. Quartile 1 adalah kategori jurnal internasional terbaik dan paling berpengaruh.
“Saya membuka pintu luas. Saat ini ada 10 mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh S2 dan S3. Mereka semua sudah memiliki posisi yang stabil, ya. Apakah mereka di BRIN, apakah mereka di kampus sebagai PNS. Nantinya mereka akan kembali ke Indonesia. Bukan satu Sastia yang kembali tapi 10, 20, bahkan 50 lulusan Doktor di bidang teknologi akan kembali membangun Indonesia,” jelasnya.
Sastia tidak setuju jika orang Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri disebut tidak nasionalis. Bahkan, jika orang Indonesia itu memberikan manfaat yang lebih luas ketika bekerja di luar negeri.
“Dan saya punya pilihan itu. Tidak semua orang bisa memiliki pilihan untuk langsung pergi saja, kan. Jadi, jika saya merasa pilihan ada dan kesempatan itu ada, dan saya mampu untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk berkontribusi kembali ke Indonesia, ya, saya merasa belum waktu saya untuk kembali,” katanya.
“Kecuali kemudian manfaat saya akan jauh lebih dibutuhkan kalau saya ada di Indonesia,” katanya.