Meja Makan sebagai Ruang Keakraban Keluarga
Seorang pembantu rumah tangga, Mbok Semi, pulang ke desa Kaliangkrik, Magelang. Ia ingin menanyakan kesediaan anak perempuannya untuk menikah dengan seorang tukang bangunan di Yogyakarta. Mbok Semi bekerja sebagai ART, dan juragannya baru saja merenovasi rumah. Salah satu tukang bangunan dianggap layak menjadi calon menantu ideal. Anak perempuannya hanya lulusan SMP, bekerja di desa, sudah waktunya berkeluarga.
Mbok Semi sering mengajak anaknya makan terlebih dahulu sebelum membicarakan hal serius. “Saya biarkan perut anak saya kenyang dulu agar mudah diajak bicara,” jelasnya. Meski meja makan sederhana, gambaran ini menunjukkan bahwa bahkan di daerah kaki Gunung Merapi, Mbok Semi menggunakan “diplomasi di meja makan” untuk berbicara serius dengan keluarganya.
Saya juga mengalami pengalaman serupa ketika kecil. Saat itu, keluarga tinggal di Kuala Tungkal, Jambi. Pada tahun 1970-an, akses ke kota tersebut hanya bisa melalui laut. Ayah, seorang PNS Kantor Agraria, menyewa rumah kayu dengan atap daun nipah. Di ruang keluarga terdapat meja makan dengan enam kursi. Setiap sarapan dan makan malam, semua anggota keluarga berkumpul mengelilingi meja makan.
Kegiatan makan dimulai setelah semua anggota hadir. Ayah dan ibu memanfaatkan waktu makan sebagai ruang berkumpul keluarga. Di tengah sarapan, mereka sesekali bertanya tentang PR dari guru, kenakalan teman-teman, atau pelajaran yang diberikan guru. Kami tiga bersaudara bersekolah di SD Negeri 5 Kuala Tungkal.
Percakapan di meja makan selalu ringan dan santai, tapi justru dalam situasi seperti ini keakraban keluarga terbangun secara alami. Semua bisa mengekspresikan diri, bahkan menyampaikan keluh kesah yang sulit diutarakan di luar waktu makan. Suasana makan malam lebih santai karena tidak dibatasi waktu, sehingga terasa intim dalam berbagi cerita.
Setelah SMA dan pindah ke Yogyakarta, fungsi meja makan di rumah orang tua berubah. Dari sekadar tempat bercerita, menjadi ruang berbagi tanggung jawab dan pemecahan masalah. Obrolan di meja makan tidak lagi ringan, tetapi menjadi ruang musyawarah informal. Ayah dan ibu membagi tugas kepada kami tiga bersaudara, seperti membayar listrik, air, koran, pajak kendaraan, dan menjaga kebersihan rumah.
Fungsi meja makan di rumah mulai berubah sejak saya kuliah. Cita-cita memiliki meja makan sebagai ruang kehangatan keluarga terwujud, tetapi lama-kelamaan meja makan berubah fungsi menjadi tempat menumpuk barang keperluan dapur. Hal ini terjadi karena ukuran rumah sempit dan tanpa gudang penyimpanan.
Akhirnya, meja makan hanya dapat digunakan oleh tiga orang dari enam anggota keluarga. Ritual berkumpul di meja makan beralih ke ruang tamu atau kamar tidur. Saat anak-anak kuliah dan bekerja di luar kota, meja makan kehilangan perannya sebagai pusat kehangatan keluarga.
Setelah purna tugas, kehangatan di meja makan hanya terasa saat anak-anak pulang ke Yogyakarta. Meski hanya di kafe atau rumah makan, situasi ini membuktikan bahwa meskipun sibuk, selalu ada ruang untuk kembali duduk berbagi cerita.
Bagi saya, meja makan, meski di luar rumah, tetap menjadi ruang kehangatan dan penawar kerinduan keluarga. Yang diperlukan hanyalah komitmen untuk meluangkan waktu bersama, membuka diri saling mendengar. Dengan begitu, meja makan tidak akan pernah kehilangan maknanya selama anggota keluarga masih mau duduk bersama mengelilinginya.


