Sejarah dan Kenangan di Rumah Keluarga Tuan Abu Bakar Titingan
Pada hari Sabtu tanggal 23 Agustus 2025, saya diberi kesempatan untuk menghadiri makan malam yang diselenggarakan oleh YB Datuk Haji Nizam DSP Abu Bakar Titingan. Beliau adalah Pembantu Menteri kepada Ketua Menteri Sabah sekaligus Ahli Dewan Undangan Negeri (ADUN) N68 Apas. Acara tersebut berlangsung di kediaman keluarga besar almarhum Tuan Abu Bakar Titingan, ayah dari Datuk Nizam, yang terletak di Banyan Drive, Tawau.
Bagi masyarakat Tawau, nama Tuan Abu Bakar Titingan tidak asing lagi. Ia adalah seorang tokoh Melayu yang sangat dihormati di kota ini. Sebagai tokoh penting dalam masyarakat Melayu Tawau, beliau berasal dari keturunan Suluk yang awalnya tinggal di Pulau Tambisan sebelum pindah ke Tawau. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai penggerak Persatuan Kebangsaan Melayu Tawau (PMKT), sebuah organisasi yang didirikan sekitar tahun 1945 untuk memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat Melayu di Tawau.
Dalam dunia politik, Tuan Abu Bakar Titingan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua USNO (United Sabah National Organisation) di Sabah. Beliau juga menjadi tokoh yang sangat dipercaya oleh Tun Mustapha, Ketua Menteri Sabah pada masa itu. Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua pertama MUIS (Majlis Ugama Islam Sabah).
Dengan posisi dan pengaruhnya, tidak mengherankan jika Tuan Abu Bakar Titingan memiliki jaringan kekerabatan yang luas. Salah satu tokoh penting yang pernah berkaitan dengan keluarganya adalah Almarhum Buya Hamka, seorang ulama ternama Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 1975 hingga 1981.
Pada awal tahun 1970-an, Buya Hamka berkunjung ke Tawau atas undangan Tun Datu Haji Mustapha, pemimpin Sabah saat itu. Menurut catatan dari buku “Pengembaraan di Malaysia” karya Abdul Hadi Hamka dan Roni Chandra, kunjungan Buya Hamka ke Tawau dilakukan pada tahun 1972. Dalam kunjungan tersebut, beliau bertemu dengan Tuan Abu Bakar Titingan dan bahkan menginap di rumah keluarga besar almarhum.
Menurut pengakuan Datuk Nizam, Buya Hamka datang ke Tawau dalam rangka lawatan dakwah. Di rumah inilah, beliau berbincang hangat dengan ayahanda dan keluarga. Kedatangan Buya Hamka dinilai sangat hangat dan penuh semangat kekeluargaan.
Di ruang tamu, Datuk Nizam menunjukkan dua foto hitam putih yang menyimpan kenangan sejarah. Foto pertama menampilkan Buya Hamka berkaos putih tanpa penutup kepala duduk berdampingan dengan Tuan Abu Bakar Titingan yang mengenakan peci hitam. Sementara foto kedua menunjukkan Buya Hamka berjubah dan berkaca mata hitam, berdiri di depan rumah bersama Tuan Abu Bakar Titingan dan beberapa tokoh lain.
Melihat foto-foto tersebut, saya membayangkan suasana Tawau pada tahun 1970-an. Kota kecil di pesisir timur Sabah ini hidup dari denyut laut dan hasil hutan. Bandar ini berbatasan langsung dengan Pulau Sebatik dan Nunukan, yang saat itu masih masuk ke dalam provinsi Kalimantan Timur (sekarang Kalimantan Utara). Di sini terdapat pelabuhan yang digunakan untuk mengangkut barang dari Nunukan dan Tarakan. Kapal-kapal berlalu-lalang membawa beras, ikan kering, dan rempah-rempah. Tongkang besar mengangkut kayu gelondongan dan kopra dari pedalaman.
Jalan-jalan utama di Tawau dipenuhi rumah kedai kayu bertingkat dua, termasuk kedai kopi Tionghoa yang selalu ramai. Anak-anak mengayuh sepeda, sedangkan orang kampung datang ke kota menggunakan bas mini untuk menjual hasil kebun di Pasar Tamu. Di pusat bandar, terdapat masjid yang didirikan di atas tanah wakaf seorang warga Tawau asal Bugis, Sulawesi Selatan. Tidak jauh dari kediaman Tuan Abu Bakar Titingan, terdapat Masjid Raya Tawau yang sederhana namun khidmat, menjadi pusat ibadah dan tempat masyarakat menimba ilmu agama.
Di Tawau inilah, sebanyak 18 orang guru agama yang didatangkan atas kerja sama Buya Hamka mulai mengajar, membangun generasi baru umat Islam Sabah. Menurut kenangan Datuk Nizam, selama menginap di rumah ini, Buya Hamka pernah shalat dan berceramah di Masjid Raya Tawau.
Malam itu, suasana makan malam dan silaturahmi di rumah keluarga besar Tuan Abu Bakar Titingan terasa begitu akrab. Jejak sejarah yang ditinggalkan Buya Hamka seakan hadir kembali, mengingatkan kita betapa pentingnya dakwah, persahabatan, dan ikatan keilmuan lintas generasi. Semoga makan malam dan silahturahmi ini bukan sekadar menapaktilasi sejarah, tetapi juga menjadi penguat hubungan kekeluargaan, ukhuwah, dan kerja sama yang baik antara kita semua, sebagaimana dulu dicontohkan oleh Buya Hamka dan para tokoh dakwah di Sabah.
