Ekonom Soroti Ketidakcocokan Proyeksi dan Data Ekonomi Kuartal II

Posted on

Kritik terhadap Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Melampaui Prediksi

Sejumlah ekonom mengkritik data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Angka sebesar 5,12 persen justru menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan publik karena melampaui prediksi yang telah disepakati oleh berbagai lembaga. Hal ini memicu perdebatan mengenai validitas data tersebut dan bagaimana proses pengukuran dilakukan.

Menurut Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, rilis angka pertumbuhan PDB sebesar 5,12 persen tidak memberikan optimisme, melainkan justru menciptakan keraguan. Ia menyatakan bahwa angka tersebut tidak sesuai dengan konsensus yang telah dibuat oleh lembaga kredibel baik secara global maupun domestik. IMF dan Bank Dunia, misalnya, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 4,7-4,8 persen. Sementara itu, lembaga riset dalam negeri seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang lebih rendah, masing-masing sebesar 4,8 persen dan 4,95 persen.

Achmad menyoroti adanya kesenjangan antara proyeksi dan realisasi. Angka BPS justru melampaui skenario paling optimis yang ada. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah data tersebut benar-benar mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya? Atau justru terdapat faktor lain yang memengaruhi hasil pengukuran?

Ia menegaskan bahwa data pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, tetapi menjadi indikator penting untuk memahami kondisi negara. Jika data tersebut tidak dapat dipercaya, maka kepercayaan publik terhadap sistem pengukuran ekonomi akan terus menurun. Dalam hal ini, BPS diperlukan untuk menjelaskan mekanisme pengumpulan data dan cara mereka memperhitungkan berbagai sektor ekonomi.

Kemungkinan Kesenjangan dalam Metodologi Pengukuran

Achmad menyebutkan dua kemungkinan yang bisa menjadi penyebab anomali data tersebut. Pertama, kemungkinan adanya inkompetensi atau kesalahan metodologis yang tidak disengaja. Misalnya, metode survei yang digunakan mungkin tidak relevan dengan struktur ekonomi yang telah berubah. Seiring perkembangan ekonomi digital, banyak pelaku usaha baru seperti gig workers dan transaksi e-commerce yang sulit terukur melalui metode konvensional.

Kedua, kemungkinan adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja. Dalam lingkungan politik yang penuh tekanan, angka ekonomi sering kali menjadi alat untuk memperkuat citra pemerintah. Jika data dianggap sebagai “rapor politik”, maka independensi BPS bisa terancam. Achmad menegaskan bahwa tekanan bisa datang secara halus, misalnya melalui alokasi anggaran atau pemilihan pimpinan BPS.

Solusi yang Diperlukan

Untuk mengatasi masalah ini, Achmad menyarankan agar dilakukan audit independen terhadap BPS. Audit ini harus dilakukan oleh tim yang tidak memiliki konflik kepentingan dan terdiri dari ahli statistik, ekonom, serta praktisi data. Proses audit harus melibatkan seluruh tahapan pengukuran, mulai dari desain kuesioner hingga agregasi data menjadi angka PDB akhir.

Selain itu, audit juga harus meninjau struktur tata kelola BPS dan mekanisme perlindungan institusional yang menjamin independensinya. Hasil audit harus dipublikasikan secara transparan kepada publik. Jika ditemukan kelemahan, maka diperlukan peta jalan reformasi yang jelas. Jika ditemukan adanya intervensi, maka harus ada akuntabilitas yang tegas.

Dengan demikian, angka 5,12 persen yang sempat memicu keraguan bisa menjadi momentum untuk meningkatkan kepercayaan pada sistem pengukuran ekonomi Indonesia. Mengembalikan kepercayaan pada data adalah langkah pertama dan paling krusial dalam membangun masa depan ekonomi yang lebih stabil dan transparan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *