Kekaguman terhadap Keajaiban Alam Semesta
Bayangkan dirimu berdiri di bawah langit yang luas, menatap ribuan titik cahaya yang berkilau. Setiap bintang adalah sebuah cerita dari masa lalu yang tak terjangkau. Mereka adalah nyala api kosmik yang menari dalam simfoni alam semesta, sederhana namun penuh rahasia yang menakjubkan.
Di alam semesta yang dapat kita amati, hingga ke galaksi GN-z11 di ujung cakrawala kosmik, ilmuwan memperkirakan ada sekitar dua triliun galaksi. Setiap galaksi mengandung miliaran hingga triliunan bintang—sekitar 100 hingga 200 miliar triliun bintang, atau 10^22 hingga 10^24 titik cahaya. Setiap titik cahaya itu adalah dunia dengan kelahiran, kehidupan, dan kematiannya sendiri.
Mereka berputar dalam orbitnya, seperti penari yang mengikuti irama tak terdengar. Tarian kosmik ini menghubungkan setiap sudut alam semesta dalam harmoni yang memukau, sebuah cerminan keagungan Sang Pencipta. Setiap bintang memiliki kisahnya sendiri. Ada yang masih muda, menyala terang dengan warna biru membara, penuh energi seperti anak kecil yang tak kenal lelah. Mereka membakar ruang angkasa dengan semangatnya.
Ada juga yang telah menua, menjadi raksasa merah yang membengkak dengan anggun, siap meledak dalam supernova yang megah, meninggalkan awan debu sebagai benih bagi bintang-bintang baru. Lalu ada katai putih, sisa-sisa bintang yang telah meredup, menyaksikan waktu berlalu dalam kesunyian yang penuh makna.
Dan di antara mereka, ada bintang-bintang yang mungkin telah lama padam, namun cahayanya masih setia melintasi ruang dan waktu untuk sampai ke mata kita. Galaksi Andromeda, tetangga terdekat Bima Sakti, adalah kanvas kosmik dengan sekitar satu triliun bintang. Berkilau dari biru muda hingga merah tua, berputar dalam orbit elips dengan kecepatan sekitar 110 kilometer per detik mengelilingi lubang hitam supermasif di pusatnya. Di dalamnya, miliaran planet (dari raksasa gas yang bergolak hingga dunia berbatu yang mungkin menyimpan lautan) menyimpan misteri kehidupan yang belum terpecahkan, tersembunyi di balik jarak 2,5 juta tahun cahaya yang memisahkan kita.
Namun, apa yang kita lihat di langit malam bukanlah kini, melainkan bayangan masa lalu. Saat kita memandang Deneb di konstelasi Cygnus, 2.600 tahun cahaya jauhnya, kita melihatnya sebagaimana ia tampak 2.600 tahun lalu, ketika peradaban manusia masih belajar merangkak. Andromeda, dengan keemasan pucatnya, menunjukkan wajahnya dari 2,5 juta tahun silam, saat manusia purba baru mengenal api. Dan GN-z11, di ujung alam semesta yang teramati, 13,4 miliar tahun cahaya jauhnya, memperlihatkan alam semesta saat masih bayi, tak lama setelah Big Bang.
Cahaya mereka, yang merambat dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik, atau batas maksimal alam semesta, adalah utusan setia yang membawa cerita masa lalu. Di seluruh alam semesta, dua triliun galaksi menari dalam harmoni, dengan bintang-bintang berputar mengelilingi pusat galaksi dalam siklus ratusan juta tahun, galaksi mengorbit dalam gugus selama miliaran tahun, dan gugus-gugus ini mengalir dalam filamen kosmik, menciptakan simfoni yang menghubungkan setiap bagian alam semesta dalam tarian yang tak pernah usai.
Di manakah Andromeda dan GN-z11 kini? Apakah Andromeda masih menari dengan spiral megahnya, atau telah bersentuhan dengan galaksi lain dalam 2,5 juta tahun sejak cahayanya terakhir kita lihat? Apakah GN-z11 masih bersinar, atau telah meredup dalam kegelapan waktu? Kita tak tahu, karena setiap gelombang cahaya yang sampai ke kita adalah kisah dari masa lalu, dan “sekarang” mereka adalah rahasia yang hanya diketahui Sang Pencipta.
Dalam kefanaan kita sebagai manusia, yang hanya sekejap hidup di bumi ini, kita hanyalah debu kosmik yang menatap keajaiban alam semesta. Setiap bintang, setiap galaksi, adalah ayat-ayat cinta dari Sang Maha Pencipta, mengundang kita untuk bersujud dalam kekaguman dan kerendahan hati. Kita tak bisa menjangkau “sekarang” Andromeda, apalagi memahami GN-z11, namun dalam ketidaktahuan itu kita menemukan keajaiban: alam semesta ini adalah lukisan kemahakuasaan-Nya, dan kita hanyalah musafir kecil yang diberi anugerah untuk menyaksikan keindahannya.
Pandanglah langit, wahai jiwa yang merindu, dan temukan dalam setiap kilau cahaya panggilan untuk mendekat kepada-Nya, dalam sujud yang penuh cinta dan kagum akan kebesaran-Nya. Dan berikut larik kontemplasinya:
Peperangan manusia, darah tumpah demi keserakahan,
Hanyalah debu di ujung jarum, fana di samudera semesta.
Bumi kecil kita, lenyap dalam pelukan triliun galaksi,
Larutlah, jiwa, dalam cinta Sang Pencipta yang tak terbatas.
