Di Balik Perjalanan Pulang Si Bungsu, Hatinya Bergetar Seperti Sembilan Luka

Posted on

Di Belakang Perjalanan Pulang Si Bungsu, Terdapat Hati yang Berduka Seperti Disayat Sembilan Pisau

Mudik tak cuma merupakan suatu perjalanan, melainkan juga sebuah tradisi tahunan yang tertanam di dalam jiwa, menyatukan ingatan, kesedaran akan kehilangan, serta harap-harap cemas. Tiap tahunnya, saat bulan Ramadhan mau berakhir, banyak manusia berkumpul lalu bermigrasi dari perkotaan menuju daerah asal mereka, menempuh jarak ribuan meter demi bertemu dengan tempat lahir, memeluk kedua orangtua, dan mencicipi suasana Lebaran bersama-sama keluarga besar.

Hati Merana Seperti Dirisas dengan Pisau Seramilik

Pak Ketua, apakah pulang kampung tidak dilakukan tahun ini?

Ungkapan singkat dari Pak Helmi Yahya, Wakil Sekretaris Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ), bagai sebuah gunting tajam yang memotong dengan halus. Tiba-tiba saja, waktu terasa membeku. Gagasan ini langsung mengantarkanku pada kenangan lama, pulang ke desaku asal, dalam rangkuian belaian hangat dari buyut dan bibi-bibiku, serta didikan pamanku yang telaten.

Tapi sekarang?

Sudah lama mereka pergi. Hanya sisa nama, kenangan, serta kubur-kubur yang belum sempat saya kunjungi sering kali. Allahumma ighfirlahum warhamhum…

Saya menghembuskan nafas panjang. “Maaf Pak, anggota keluarga saya semuanya sudah ada di sini,” ujarku sambil menyeka air mata yang tak sadar telah jatuh. Meski suaramu terbata-bata, kamu berusaha untuk tetap tenang.

Di sela-sela kata-kata tersebut tersembunyi ribuan arti. Ini lebih dari sekedar absennya pulang kampung, melainkan tentang betapa kehidupan sudah merombak semuanya. Dahulunya, mudik merupakan sebuah tradisi suci yang penuh perjuangan dengan kemacetan dan rasa letih untuk menikmati nasi ketupat buatan sang ibu serta mendengarkan nasihat panjang si ayah dalam ruang tamu. Kini? Saya cuma bisa mendoakan agar semua harapan saya dapat mencapai alam barzakh.

Bapak Helmi mungkin tidak sadar bahwa pertanyaannya bisa mengguncangkan hati. Namun begitulah kehidupan: kadang-kadang, pertanyaan sepele malah dapat membongkar lukai yang belum sepenuhnya pulih.

Saya mengernyitkan dahi dengan senyum pahit. “Pulang kampung? Rumah saya telah ada di sini, Bapak. Tetapi hati ini… tidak tahu berada dimana lagi.”

Cerita Mudik Si Bungsu

Diberkahi dengan tiga puteri wanita, sang kakak tertua dikenal sebagai Intan. Anak keduanya sering disebut Fina oleh semua orang. Sementara itu, adik terkecilnya yang merupakan penambah kegembiraan dalam keluarganya, kita sebut saja dia Ayu.

Intan dan Fina sekarang sudah bersama-sama dalam rumah tangga. Intan, sang kakak tertua dari keluarga kita, lulus dari UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka), sedangkan Fina, adiknya yang ke dua, mengambil gelarnya di Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP). Yang terkecil, Ayu, masih aktif belajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Berikut adalah kisah perjalanan pulangnya sang adik yang paling kecil, disusun berdasarkan ceritanya saat tiba di rumah.

Ayu, anak bungsunya keluarga, akhirnya mengawali petualangannya pulang kampung dari Solo ke Palembang. Perjalanannya tidak hanya diwarnai oleh rintangan, tapi juga diselimuti saat-saat persahabatan yang sangat berkesan.

Agar perjalanannya lebih nyaman, saya sarankan dia menggunakan kereta api dari Solo menuju Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Saat ini, kereta api sudah menjadi pilihan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya; tidak lagi ramai dan padat, menjadikan perjalanan kali ini lebih santai dan menyenangkan.

Ia memulakan petualangannya dari Stasiun Purwosari Solo, melalui kaunter kereta api ke arah Yogyakarta. Di situ, pengembaraan diteruskan menggunakan kereta api sekali lagi hingga ke Kulon Progo, tempat Lapangan Terbang Antarabanga Yogyakarta (YIA) mengantarnya pulang.

Pesawat yang ia tumpangi, yaitu Super Air Jet, take off pada jam 16:35 WIB, mengantarkannya melewati langit ke arah Palembang. Berdasarkan keterangan Ayu, dirinya merasa khawatir saat pesawat mengalami turbulensi sebanyak dua kali, tetapi dengan doa-doanya, akhirnya pesawat berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pukul 17:55 WIB. Kakak-kakak perempuan tersayangnya, yakni Intan dan Fina, sudah lama menanti dengan campuran rasa cemas serta sukacita untuk menyambut si bungsu tersebut; mereka baru dapat bertemu dalam pelukan pukul 18:14.

Meski demikian, petualangan mereka belum berakhir. Mereka tetap harus melanjutkan perjalanan ke Air Kumbang, yang terletak di wilayah Banyuasin setelah sampai di bandara. Keadaan malam yang remang-remang serta laporan-laporan tidak menyenangkan tentang peningkatan kasus penggrebekan di Desa Nusamakmur hanya memperparah atmosfer tegang tersebut. Bersama tekad yang kuat, Fina, yang menjadi supir dalam rombongan itu, meremas stir mobil Pajero Dakar milik sang nenek dengan penuh keyakinan. “Aku akan membanting apabila ada gangguan,” katanya dengan nada pasti, sekaligus mendiamkan mesin untuk melewati ancaman tersebut.

Walaupun jalannya dari Kecamatan Banyuasin I hingga Air Kumbang bergelombang dan tak rata, ketahanan kendaraan serta kemampuan Dinda dalam berkendara menyebabkan perjalanannya menjadi lebih mudah. Pada akhirnya, pada pukul 21.00 WIB, kedua putri remaja tersebut sampai di tujuan mereka dengan aman.

Sebagai seorang ayah dan ibu, perasaanku dipenuhi rasa gembira yang mendalam serta ucapan terima kasih. Aku tidak dapat menahan air mata bahagia ketika menyaksikan putra-putriku bertemu kembali. “Syukurlah, mereka telah tiba dengan selamat. Mudah-mudahan kita semua bisa merayakan hari Lebaran dalam suasana sukacita,” gumamku sembari sujud untuk mengucapkan rasa syukur.

Perjalanannya yang melelahkan dan rumit pada akhirnya membuahkan hasil, kedatangan putri bungsunya kembali kepada keluarganya, menciptakan sebuah narasi pulang kampung yang tidak akan pernah dilupakan.

Penutup

Sekarang, mudik merupakan suatu tantangan berani. Tidak hanya soal kembali ke desa asal, tetapi juga pertempuran melawan rintangan yang dihadapi bersama semua batasan tersebut. Pada masa ketika tiket pesawat masih jadi impian, naik bis bertingkat saja sering kali melebihi kemampuan finansial banyak orang.

Pada tahun 1988, rute perjalanan dari Bandung menuju Palembang seolah-olah merupakan petualangan melintasi lautan zaman, selama dua hari penuh berkelahi dengan hawa dingin dari jendela bis yang rusak, debu jalan yang melekat pada kulit, dan aroma keringat yang menusuk hidung.

Sampai di rumahpun tidak diterima seperti pahlawannya gagah, tetapi lebih mirip seorang pejuang yang lelah, dengan baju kotor dan tubuh pegal namun matanya bersinar kegembiraan.

Di sisi lain, para lansia itu menunggu dengan cemas, detak jantung mereka tidak teratur, karena segala bentuk komunikasi hanya berupa doa serta surat-surat yang tak kunjung tiba sebelum kedukaan melanda.

Sekarang ini, pulang kampung telah mengalami perubahan menjadi sebuah narasi yang baru. Perjalanan yang dulunya membutuhkan beberapa hari dapat dilakukan hanya dalam hitungan jam. Berangkat setelah sholat Dzuhur, tiba di bandara sebelum waktu maghrib, dan belum genap tengah malam pun seseorang sudah bisa merengkuh kedua orang tuanya di rumah.

Tak ada lagi bau keringat atau baju belepotan debu, karena AC menjadi teman setia dari bus hingga pesawat. Keringat pun enggan keluar, segan mengganggu kenyamanan perjalanan. Bahkan rasa bosan tak sempat hinggap, karena gawai di genggaman memungkinkan kita terus terhubung, berbagi tawa lewat video call, mengabarkan posisi, atau sekadar mendengar cerita ibu yang sudah tak sabar menanti di dapur.

Hal yang tidak berubah adalah kerinduan yang tetap menyala dengan hangat. Perbedaannya sekarang kita dapat mencapainya dengan lebih cepat, tiba dalam kondisi yang lebih bugar, dan memiliki waktu yang lebih banyak untuk merasakan kesenangan bersama-sama.

Sekarang kita bertarung melawan jarak dan waktu, sekarang kita bersaing dengan kemegahan masa kini. Namun dibalik semuanya ini, mudik tetap menjadi momen pulang yang selalu mempesona, tidak peduli bagaimana perkembangan waktu.