Dari pembuangan ke ekspresi: Lagu-lagu kebebasan Ghirmay Andom

Posted on

Ketika Ghirmay Andom Wilder Mikaile menyeberangi perbatasan Eritrea ke Sudan pada 24 September 2011, dia hampir kehabisan pilihan—tetapi belum kehabisan harapan. Keputusan untuk meninggalkan tanah kelahirannya tidak direncanakan, dikemas, atau dipertimbangkan sebelumnya.

Ini adalah kepergian yang menyayat hati, terlahir dari rasa mendesak dan putus asa yang sunyi. Yang tidak diketahuinya pada hari itu adalah bahwa dia tidak hanya sedang melarikan diri dari penindasan—dia sedang memasuki panggilan sejati dalam hidupnya.

Lahir di Eritrea, kenangan paling awal Ghirmay bukanlah tentang taman bermain atau nyanyian pengantar tidur, tetapi tentang sirene perang, bisikan-bisikan perlawanan, dan ketakutan diam akan pengawasan.

Ia adalah anak dari sebuah konflik, yang paling muda dalam keluarga yang dihantui oleh persekusi politik dan kehilangan pribadi.

Ketika dia baru berusia tiga tahun, orang tuanya yang didorong oleh rasa takut dan keyakinan, memulai perjalanan yang melelahkan selama dua tahun dari dataran tinggi Asmara menuju perbatasan Sudan, kebanyakan berjalan kaki. “Kami berjalan, lalu berhenti untuk beristirahat dan memulihkan tenaga, kemudian berjalan lagi,” ujarnya, mengenang irama kehidupan pada masa-masa sulit tersebut. “Ini bukanlah sebuah perjalanan. Ini adalah upaya bertahan hidup.” Saat keluarga itu tiba di Sudan, mereka secara fisik sudah sangat lelah, tetapi secara spiritual tetap utuh.

Tantangan baru mereka datang dalam bentuk kehidupan di kamp pengungsi. Tidak ada air mengalir, tidak ada sanitasi, dan penyakit menular merenggut nyawa anak-anak setiap hari. Namun di tempat yang keras ini, benih harapan mulai tumbuh. Ibu Ghirmay, seorang perawat ibu dan anak, menjadi mukjizat diam-diam di kamp tersebut.

Pengetahuan dan dedikasinya membantu anak-anaknya bertahan hidup ketika banyak orang lain tidak. Fondasi cinta, ketangguhan, dan perawatan secara komunal itu membentuk cara Ghirmay memandang dunia di kemudian hari—dan apa yang akan dia nyanyikan.

Setelah 14 tahun di Sudan, keluarga itu kembali ke Eritrea, percaya bahwa mereka pulang ke sebuah negara yang telah berubah dan damai. Namun, mereka justru kembali ke kenyataan yang lebih keras. Rezim tetap secara brutal represif.

Tiga dari saudara-saudara Ghirmay yang lebih tua dan telah bergabung dalam perjuangan revolusioner telah terbunuh dalam perang. Pengorbanan mereka ditulis dalam diam. Nama-nama mereka tidak pernah disebut.”Kami mengira kami sedang menuju tanah terjanji kami,” kata Ghirmay dengan tenang. “Tapi yang kami temukan adalah sebuah tanah yang telah menjanjikan segalanya namun hanya memberikan penderitaan.”Meski mengalami kehilangan-kehilangan ini, Ghirmay beralih pada musik sebagai cara untuk memproses kesedihannya dan menyuarakan kebenarannya. Pada tahun 2004, ia merilis album pertamanya. Album tersebut menjadi sensasi nasional, laku terjual di seluruh Eropa dan Amerika Utara.

Tetapi dia tidak melihat sedikit pun uang dari kesuksesan itu. “Itu milik pemerintah,” katanya. “Musiknya adalah milikku, tetapi aku tidak memilikinya. Aku bahkan tidak mampu membeli makan siang sementara mendengarkan lagu-laguku di radio.” Momen penting terjadi pada tahun 2009 ketika Ghirmay memenangkan Kontes Musik Afrika Timur, yang diselenggarakan oleh inisiatif Prancis bernama The African Dream. Hadiahnya adalah kontrak kerja dan tur ke Eropa — sebuah kesempatan yang bisa saja langsung melambungkan kariernya.

Tetapi birokrasi militer Eritrea memiliki rencana lain. Untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, ia membutuhkan izin resmi, yang memerlukan koneksi, suap, dan jaminan pribadi bernilai ribuan dolar.

Tiba-tiba diblokir
Meskipun telah berbulan-bulan persiapan dan tak terhitung jumlahnya pertemuan dengan para menteri serta penasihat, permintaannya tiba-tiba saja diblokir.
“Mereka berhenti menjawab panggilan saya. Mereka menutup pintu bagi saya,” katanya. “Saya telah menginvestasikan segalanya—waktu saya, uang saya, impian saya. Lalu, begitu saja, semuanya hilang.”
Situasi menjadi berbahaya. Beredar kabar bahwa dia mungkin akan mencoba meninggalkan negara secara ilegal. Paspornya disita. Ghirmay khawatir dia akan ditangkap di jalanan dan dipenjara tanpa dakwaan. Saat itulah dia menyadari bahwa dia harus menghilang, dan kembali menjalani masa pembuangan.

Pada 24 September 2011, Ghirmay kembali menyelinap menyeberangi perbatasan ke Sudan, kali ini bukan sebagai seorang balita, tetapi sebagai seorang eksil politik.

Perjalanannya penuh bahaya. Jalur-jalur tersebut dijaga oleh para penyelundup, perdagang manusia, dan pelaku pencurian organ. Namun tetap tinggal di Eritrea berarti menjalani hidup tanpa kebebasan. Meninggal saat mencoba melarikan diri, pikirnya, setidaknya adalah meninggal sambil berusaha hidup.

Ia tiba di Sudan tanpa rencana dan tanpa barang bawaan—hanya suaranya dan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku duduk sendiri dan berkata, ‘Apa sekarang?’”, kenangnya. “Kamu bisa menjadi korban atau memulai dari awal.” Ghirmay memilih yang terakhir. Ia memperkenalkan diri di sebuah universitas musik di Khartoum, berbicara dalam bahasa Arab Sudan yang fasih. Ia tampil hanya dengan suaranya dan sebuah laptop, perlahan membangun hubungan.

Tidak lama setelahnya, ia diundang untuk tampil dalam konser nasional, acara yang disiarkan televisi, dan pertukaran budaya internasional. “Pengungsi ini,” katanya sambil tertawa, “kini muncul di TV di Sudan.” Ia memainkan musik yang bercerita, menyembuhkan, dan mendokumentasikan apa yang akan dikenang.

Suara Ghirmay menembus batas-batas negara. Berakar pada ritme tradisional Eritrea, musiknya menggabungkan unsur-unsur dari berbagai genre musik dunia seperti jazz, reggae, Afrobeats, dan salsa. Ini adalah perpaduan spiritual lintas budaya yang mencerminkan jiwa nomaden dan semangat tangguhnya. “Di Afrika Timur, kita tidak selalu mengikuti genre musik tertentu,” jelasnya. “Sebuah lagu bisa memiliki tiga ritme berbeda. Ini tentang bercerita. Ini tentang jiwa (soul).”

Lirik-liriknya sangat pribadi—kadang menyedihkan, tetapi sering juga menginspirasi. “Saya tidak bernyanyi tentang perang,” katanya. “Setiap orang di Eritrea tahu tentang perang. Yang saya nyanyikan adalah apa yang terjadi setelah perang. Apa selanjutnya? Bagaimana kita hidup? Bagaimana kita tetap mencintai?”

Musisi ini percaya bahwa ia harus menjalani hidup sesuai dengan apa yang dinyanyikannya. “Saya memperlakukan orang seperti saya ingin diperlakukan. Di situlah perdamaian dimulai,” ujarnya. “Bahkan jika mereka tidak memberi perlakuan yang sama, saya tetap menjadi orang seperti itu. Dengan cara itulah kita memimpin.”

Salah satu video musiknya yang paling kuat difilmkan di utara Sudan, menyeberangi luasnya Gurun Sahara, tempat tak terhitung banyaknya warga Eritrea, Ethiopia, dan Afrika Barat yang tewas dalam upaya untuk bermigrasi. “Saya sengaja memfilmkannya di sana,” katanya. “Untuk menceritakan kisah itu, melalui gambar dan lagu.” Pengungsi yang tangguh ini kini telah menjadi warga dunia. Setelah enam tahun tinggal di Sudan, Ghirmay diberikan suaka di Amerika Serikat.

Sekarang dia adalah warga negara Amerika yang tinggal di Washington, DC, di mana dia terus melakukan perjalanan keliling dunia sebagai seorang seniman dan duta budaya. “Saya juga bisa saja pergi ke Prancis,” katanya, “tapi Amerika menjadi awal baru bagi saya.” Dia mengkreditkan kemampuannya dalam membangun kembali hidupnya kepada kejujuran, kerendahan hati, serta energi positif yang dia bagikan kepada setiap orang yang ditemuinya. Positivitas itu bukanlah sandiwara. Itu adalah keadaan alaminya—bahkan setelah segala sesuatu yang telah dialaminya. “Orang-orang bertanya bagaimana saya bisa tetap bahagia,” katanya. “Sederhana saja. Saya memilih untuk tidak menjadi korban. Saya bepergian. Saya belajar dari orang-orang. Saya melihat bagaimana mereka yang tidak memiliki apa-apa tetap menemukan alasan untuk menari.” Dia mendapatkan inspirasi mendalam dari berbagai komunitas di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika. “Kebahagiaan ada di mana-mana jika kamu mencarinya,” tambahnya.

Ghirmay mengatakan bahwa ia telah menemukan rumah keduanya di Uganda, sebuah negara yang telah mencuri hatinya. Sejak 2014, ia telah mengunjungi negara itu lebih dari 15 kali, membangun kolaborasi musikal dan jembatan budaya.

Di Kampala, ia bertemu dengan produser Uganda Paddyman, gitaris Myko Ouma, dan pemain perkusi Joseph, sebuah trio yang menurutnya membawa musiknya ke ketinggian baru.

Ritme saya

“Mereka memahami ritme dan akar saya. Mereka membantu saya menjaga identitas saya sambil menambahkan sesuatu yang unik dari Uganda. Musiknya menjadi lebih kaya.”

Melalui musik, pria kelahiran Eritrea ini membawa lebih dari sekadar leluhurnya—ia menyuarikan generasi yang tengah berjuang melalui pengasingan, kehilangan, dan kelahiran kembali.

“Musik saya adalah sebuah memori,” katanya. “Tapi juga sebuah nubuat. Saya menyanyikan apa yang telah saya selamatkan, dan menyanyikan apa yang mungkin terjadi.”

Namanya adalah nama yang membawa keberlanjutan generasi. Nama lengkap Ghirmay sendiri sudah bercerita tersendiri.

“Ghirmay adalah namaku. Andom adalah nama ayahku. Wilder Mikaile adalah nama kakekku. Begitulah cara kami membawa para leluhur bersama kami.”

Dari kamp pengungsian hingga panggung televisi, dari pembuangan hingga menjadi warga global, Ghirmay Andom Wilder Mikaile bukan hanya seorang seniman. Ia adalah melodi hidup yang penuh ketangguhan. Lagu-lagunya bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi justru merupakan bentuk eksistensi itu sendiri. Dan selama ia masih punya napas, ia akan terus berjalan—dan bernyanyi. Disediakan oleh SyndiGate Media Inc. (Syndigate.info)