Peran Rumah Wasathiyah dalam Transformasi Ideologi Eks Jamaah Islamiyah
Para Wijayanto, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI), kini aktif berperan dalam membangun kembali pemahaman ideologi bagi para tahanan kasus terorisme. Melalui program yang diberi nama Rumah Wasathiyah, ia mengajak narapidana untuk kembali setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Program ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang moderasi beragama dengan merujuk pada karya-karya ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Ibnu Katsir.
“Kenapa harus kitab-kitab lama? Karena itu yang mereka akui sebagai rujukan. Kami dekati mereka dengan kitab yang biasa mereka pakai, agar mereka tidak resisten,” ujarnya dalam wawancara. Ia menjelaskan bahwa kehadiran kitab-kitab tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa pesan moderasi dan cinta terhadap NKRI bukanlah hasil dari tafsir baru, melainkan memiliki dasar kuat dalam khazanah Islam klasik.
Dalam pelaksanaannya, Rumah Wasathiyah akan menampilkan teks asli kitab-kitab tersebut dalam bahasa Arab. Hal ini diharapkan bisa membantu para napi terorisme melihat bahwa konsep moderasi telah ada sejak dulu. Para Wijayanto menekankan bahwa perubahan ideologi tidak boleh dilakukan karena taqiyah demi mendapatkan remisi atau pembebasan, tetapi harus didasari oleh ilmu dan pemahaman bahwa Islam adalah agama wasathiyah atau moderat.
Program ini dilakukan di empat lembaga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan secara bergilir selama dua hari. Kegiatan ini dirancang untuk memastikan transformasi ideologi yang terjadi di eks JI pasca-pembubaran organisasi tersebut dan kembali ke NKRI. Menurut Para Wijayanto, kehadiran Rumah Wasathiyah membuat waktu sosialisasi pembubaran JI di seluruh wilayah Indonesia menjadi lebih singkat.
Selama pelaksanaan kegiatan, para napi terorisme yang mengikuti program ini menunjukkan perubahan signifikan. Mereka bertransformasi dari sikap tatharruf atau ekstrem berlebih-lebihan menjadi wasathiyah atau bersikap moderat. Kegiatan ini juga menyasar napiter eks JI yang menjalani pidana di Nusakambangan karena mereka dianggap paling keras dan sulit, namun dalam pelaksanaannya juga diikuti oleh napiter lainnya.
“Program ini merupakan terapi ideologi untuk menyembuhkan sikap tatharruf atau ekstremisme, baik yang bersifat berlebih-lebihan (ifrath) maupun yang mengurang-kurangi (tafrith),” jelas Para Wijayanto. Antusiasme para napiter selama mengikuti kegiatan sangat luar biasa, bahkan beberapa di antaranya menangis karena merasa baru menemukan pencerahan setelah menjalani hukuman bertahun-tahun.
Transformasi ideologis di kalangan eks JI berangkat dari 42 pertimbangan syar’i yang terangkum dalam buku “JI: The Untold Story”, termasuk di dalamnya konsep siyasah syar’iyyah (politik yang syar’i) sebagai dasar legitimasi bagi penerimaan sistem politik modern seperti NKRI. Menurut Para Wijayanto, banyak yang dulu menolak politik karena menganggapnya tidak ada dalilnya. Padahal dalam kitab-kitab siasah disebutkan, politik itu apa pun yang mendekatkan pada maslahat dan menjauhkan mudarat, selama tidak bertentangan dengan syariat, itu boleh.
Dengan definisi tersebut, sistem negara republik dapat diterima sebagai maslahah mu’allaqah—kemaslahatan yang tinggi—bagi umat Islam Indonesia. Rumah Wasathiyah bukan hanya menyasar narapidana kasus terorisme meskipun pada tahun pertama, 70 persen program difokuskan kepada eks JI dan 30 persen untuk masyarakat umum.
Ke depan, Para Wijayanto berharap metode yang dikembangkan bisa menjadi solusi umum bagi siapa pun yang terpapar ideologi ekstrem, bahkan untuk pencegahan sejak dini di kalangan remaja dan pelajar. “Kami ingin memberikan semacam imunisasi wasathiyah, agar generasi muda tidak sampai terkena virus ekstremisme,” katanya.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan Provinsi Jawa Tengah Mardi Santoso menyambut positif safari dakwah yang dilakukan oleh Para Wijayanto di Nusakambangan karena memiliki nilai strategis dalam membangun kesadaran ideologis para napiter agar kembali setia kepada NKRI. Budaya kami membutuhkan figur dan keteladanan. Ustadz Para Wijayanto adalah sosok yang sangat tepat karena merupakan tokoh dengan latar belakang yang pernah terpapar dan kini berkomitmen kembali ke NKRI. Ia menilai pendekatan figuratif seperti itu efektif karena menyesuaikan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peran tokoh dan panutan.


