Kinerja Perbankan Indonesia Tetap Stabil di Tengah Dinamika Global
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sektor perbankan Indonesia menunjukkan daya tahan yang kuat meskipun menghadapi berbagai dinamika perekonomian dan politik global. Hal ini didukung oleh ekspektasi penurunan suku bunga global pada semester II 2025 serta beberapa kali penurunan suku bunga acuan atau BI Rate hingga saat ini berada di level 5 persen. Dengan kondisi tersebut, OJK menilai masih ada ruang untuk penurunan suku bunga kredit lebih lanjut.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, penurunan BI Rate secara bertahap akan diikuti oleh penurunan suku bunga kredit. Pada Juli 2025, rata-rata tertimbang suku bunga kredit rupiah turun 7 bps dibanding tahun sebelumnya, terutama pada kredit produktif. Penurunan BI Rate telah dilakukan sebanyak empat kali pada 2025, yakni Januari, Mei, Juli, dan Agustus masing-masing sebesar 25 basis poin (bps). Dari level 6 persen pada awal tahun, suku bunga acuan turun 100 bps menjadi 5 persen pada saat ini.
Penurunan suku bunga kredit lebih lanjut dipengaruhi oleh struktur biaya dana (cost of fund/CoF) tiap bank. Beberapa bank masih mengandalkan dana mahal seperti time deposit dalam komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK). Oleh karena itu, bank perlu mengelola strategi pendanaan dengan meningkatkan porsi dana murah untuk menciptakan ruang penurunan bunga kredit yang lebih signifikan.
OJK terus mengimbau agar bank dapat secara bertahap menyesuaikan tingkat suku bunganya agar tetap sejalan dengan kondisi pasar, rasio keuangan yang sehat, dan tidak menciptakan persaingan bunga yang kurang sehat. Selain itu, industri perbankan nasional juga diminta tetap menjaga transparansi dan perlindungan konsumen dalam menyampaikan informasi terkait produk perbankan.
Hasil revisi Rencana Bisnis Bank Umum (RBB) pada paruh pertama 2025 menunjukkan adanya penyesuaian target menjadi lebih konservatif akibat perubahan kondisi makroekonomi dan dinamika global. Meski demikian, OJK memproyeksikan kinerja perbankan 2025 tetap stabil dengan pertumbuhan kredit yang sedikit termoderasi dari target. Hal ini sejalan dengan langkah bank untuk tetap berhati-hati dalam menyalurkan kredit, khususnya pada segmen berisiko tinggi. Namun, tetap ekspansif pada sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian dan memiliki prospek baik.
Hasil Survei Orientasi Bisnis Perbankan OJK (SBPO) pada kuartal III 2025 menunjukkan bahwa bank umum memiliki persepsi yang optimistis. Optimisme ini didorong oleh ekspektasi bahwa kondisi makroekonomi domestik akan membaik, sehingga berdampak positif terhadap kinerja perbankan. Bank juga cukup mampu mengelola risiko.
Ekspektasi kinerja perbankan pada kuartal III 2025 tetap optimistis, melanjutkan tren positif dari kuartal sebelumnya. Optimisme tersebut ditopang oleh proyeksi pertumbuhan DPK dan penyaluran kredit yang mendorong peningkatan laba serta permodalan bank. Keyakinan itu juga sejalan dengan membaiknya kondisi makroekonomi domestik dan langkah bank memperluas ekspansi kredit sesuai target RBB.
Selain itu, penurunan BI Rate pada Mei dan Juli 2025 menjadi 5,25 persen turut menurunkan biaya kredit sehingga berpotensi meningkatkan permintaan debitur. Dari sisi penghimpunan dana, DPK diperkirakan tumbuh sejalan dengan upaya bank memperkuat sumber pendanaan untuk mendukung ekspansi kredit dan menjaga likuiditas. Pertumbuhan itu didorong oleh peningkatan dana dari nasabah korporasi, strategi peningkatan dana murah, serta masuknya dana pemerintah pusat ke bank daerah pada kuartal III 2025.
OJK menekankan bahwa perbankan senantiasa perlu menerapkan strategi adaptif dan inovatif dalam menghadapi perubahan kondisi makroekonomi. Tujuannya adalah tidak hanya menjaga stabilitas sistem keuangan, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian dan menjadi pilar penting untuk mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Dalam semester I 2025, perekonomian global menghadapi ketidakpastian akibat perang dagang dan ketegangan geopolitik, termasuk penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) serta konflik di Timur Tengah. Kondisi itu menekan perdagangan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, pada paruh kedua 2025, tensi mulai mereda setelah AS dan sejumlah mitra menyepakati penurunan tarif impor, termasuk menjadi 19 persen untuk Indonesia, serta membaiknya situasi geopolitik.
Perkembangan positif tersebut mendorong International Monetary Fund (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global naik menjadi 3 persen pada 2025 dan 3,1 persen pada 2026, dari sebelumnya 2,8 persen dan 3 persen. Sejalan dengan itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik juga direvisi naik menjadi 4,8 persen pada 2025–2026 dari sebelumnya 4,7 persen.
Di tengah dinamika global, perekonomian Indonesia tetap solid. Pada kuartal II 2025, PDB tumbuh 5,12 persen (yoy), lebih tinggi dari perkiraan 4,8 persen. Sektor manufaktur masih berada di zona kontraksi dengan PMI 49,20, tetapi membaik dari 46,90 pada bulan sebelumnya. Sementara itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tetap optimistis di level 118,1, surplus neraca perdagangan berlanjut, dan cadangan devisa tetap terjaga tinggi.
Industri perbankan Indonesia masih menunjukkan resiliensi yang kuat dengan kinerja positif terhadap dinamika yang terjadi.
