Akhir Bahagia Warga Kampung Bayam: 5 Tahun Diusir, Kini Kembali ke Kampung Halaman

Posted on

Sejarah Kembali ke Kampung Halaman

Kamis (7/8/2025) menjadi hari yang sangat bersejarah bagi warga Kampung Bayam, Jakarta Utara. Setelah menunggu selama bertahun-tahun, akhirnya mereka menerima kunci hunian baru yang diberi nama Kampung Susun Bayam. Ini adalah momen penting bagi ratusan warga yang sebelumnya harus pindah sementara selama lima tahun.

Pengalaman Relokasi yang Berat

Sherli (42), salah satu warga, masih ingat jelas bagaimana pada tahun 2020 ia harus meninggalkan rumah yang telah ia tempati selama bertahun-tahun. Pemindahan itu dilakukan demi proyek pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) yang kini berdiri di dekat Kampung Susun Bayam. Saat penggusuran terjadi, ratusan warga dipindahkan ke Rusun Nagrak, Marunda, Cilincing.

Bagi mereka, relokasi tersebut terasa seperti diasingkan. Lokasi yang jauh dari tempat kerja dan sekolah anak-anak membuat kehidupan mereka semakin sulit. “Tantangannya besar sekali. Banyak teman kehilangan pekerjaan, anak-anak sekolah harus berangkat subuh, pulangnya malam. Rasanya capek sekali,” kenang Sherli.

Banyak warga yang harus memulai hidup dari nol karena kehilangan pekerjaan. Bahkan biaya hidup mereka membengkak, terutama karena transportasi dan jarak sekolah yang lebih jauh. Setiap hari, mereka juga harus melewati truk-truk besar saat mengantar anak atau pergi bekerja.

Kembali ke Kampung Bayam

Setelah lima tahun, penantian ini berbuah manis. Tiga gedung berlantai empat berdiri megah di samping JIS. Itulah Kampung Susun Bayam, hunian baru dengan konsep urban farming yang menggabungkan kenyamanan tinggal dengan ruang hijau.

Di sepanjang 200 meter dari gerbang utama, hamparan kebun cabai rawit, cabai hijau, dan terong ungu menyambut. Di sisi kiri halaman, lima kolam ikan menjadi sumber pangan sekaligus bisa menjadi sarana usaha bersama. Di dalam unit rusun, ruangan seluas 36 meter persegi menyambut, lengkap dengan dua kamar tidur, dapur, kamar mandi dalam, balkon, listrik, dan air bersih.

Warga dilibatkan langsung dalam proses mendesain bangunan. Konsep mezanin dan lantai tambahan di dalam unit diusulkan langsung oleh warga untuk memaksimalkan ruang. “Kampung Bayam ini didesain sama-sama dengan warga. Jadi untuk memenuhi kebutuhan, kita pakai konsep itu,” kata Sherli.

Biaya Sewa yang Menjadi Perhatian

Meski sudah menempati rumah baru, warga sadar bahwa perjalanan belum usai. Setelah masa gratis enam bulan atau grace period berakhir pada Desember 2025, warga wajib membayar sewa rusun Rp 1,7 juta per bulan. Warga sempat keberatan dengan tarif tersebut. Apalagi, banyak yang bekerja sebagai buruh, petugas PPSU, bahkan pemulung.

Negosiasi panjang pun sempat terjadi antara warga yang didampingi kuasa hukum dengan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku pengelola. “Kami setuju dengan angka itu, tapi setelah masa gratis enam bulan. Nanti kalau pengelolaan sudah pindah dari Jakpro ke Dinas Perumahan, akan ada negosiasi lagi,” kata Sherli.

Pemerintah Kota Jakarta Utara memastikan, peluang kerja di kawasan JIS akan dibuka untuk warga Kampung Susun Bayam. Mulai dari petugas keamanan hingga pengurus kebun, dengan gaji setara Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta. Harapannya, pendapatan itu bisa membantu warga membayar sewa.

Mimpi Mengelola Mandiri

Meski begitu, warga tetap memimpikan pengelolaan mandiri Kampung Susun Bayam. Hal ini diyakini bisa menekan biaya sewa, seperti di Kampung Susun Akuarium, Jakarta Utara, yang hanya mematok tarif Rp 33.500 per bulan. Selain biaya operasional bisa ditekan, rasa memiliki terhadap hunian dinilai lebih kuat jika warga mengelola mandiri.

“Kalau dikelola sendiri, semua bisa lebih hemat, dan warga lebih peduli menjaga fasilitas,” kata Sherli. Usulan ini telah disampaikan warga secara tertulis ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 22 April 2025, namun hingga kini masih menunggu jawaban resmi. “Harapan kami, pemerintah percaya kepada warga untuk mengelola mandiri, supaya lebih terjangkau dan berdaya,” ucap dia.