Air Mata di Hari Pertama Sekolah, Siswa Riau Belajar di Bawah Pohon Sawit dengan Terpal

Posted on

Kondisi Mengharukan Anak-anak di Sekolah Terbuka di Tengah Kebun Sawit

Di tengah hutan yang luas dan pohon sawit yang menjulang tinggi, sebuah video mengejutkan beredar di media sosial. Video tersebut memperlihatkan anak-anak kelas satu Sekolah Dasar (SD) belajar di tanah beralaskan terpal, dengan atap dari plastik sederhana. Mereka duduk melingkar di bawah pohon sawit, sementara guru mengajar di tengah-tengah mereka.

Keadaan ini terjadi di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau. Anak-anak tersebut adalah warga yang tinggal di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Lahan tempat tinggal mereka disita oleh pemerintah karena dianggap masuk dalam kawasan hutan. Akibatnya, sekolah yang sebelumnya digunakan untuk pendidikan anak-anak juga tidak bisa lagi beroperasi.

Anak-anak kelas satu SD itu sebenarnya ingin bersekolah di SD 20 Dusun Toro Jaya. Namun, setelah lahan sekolah disita dan dinyatakan sebagai bagian dari TNTN, sekolah tersebut dilarang menerima siswa baru. Sementara itu, siswa kelas dua hingga enam masih diperbolehkan bersekolah, dengan total 455 siswa dalam 10 rombongan belajar.

Kondisi ini membuat banyak orangtua merasa kesal dan sedih. Mereka harus membawa anak-anak ke sekolah induk yang jaraknya mencapai dua jam perjalanan. Hal ini membuat banyak orangtua tidak mungkin mengantar anaknya ke sekolah. Oleh karena itu, warga akhirnya membangun tenda sederhana dari terpal di luar kawasan TNTN agar anak-anak tetap bisa belajar.

Proses Belajar yang Penuh Kesulitan

Dalam video yang viral, anak-anak kelas satu SD tampak mengenakan seragam merah putih. Mereka duduk di atas terpal, sambil berusaha menghindari terik matahari dengan menggunakan pelepah daun. Beberapa anak bahkan mengipas tubuh mereka dengan topi sekolah karena panas. Di belakang mereka, orangtua juga ikut duduk di tanah, menyaksikan proses belajar yang sangat berbeda dari biasanya.

Abdul Aziz, juru bicara warga TNTN, menjelaskan bahwa anak-anak ini adalah siswa baru yang jumlahnya ada 58 orang. Mereka belajar di tanah di dalam kebun sawit, seperti yang terlihat dalam video. Menurut Aziz, SD 20 dulunya merupakan kelas jauh dari SD Negeri 003 Desa Lubuk Kembang Bunga dan baru berstatus negeri pada September 2024.

Namun, setelah penyitaan lahan, orangtua diminta mendaftarkan anak ke SD induk. Sayangnya, jarak antara Dusun Toro Jaya ke sekolah induk cukup jauh, sehingga sulit bagi orangtua untuk mengantarkan anak-anaknya. Akibatnya, warga berinisiatif membangun tenda sederhana dan meminta bantuan seorang guru untuk mengajar secara sukarela.

Emosi yang Memuncak

Aziz menuturkan bahwa banyak orangtua menangis melihat kondisi anak-anak mereka. Mereka merasa tidak tahu harus bagaimana lagi. “Ini seperti zona perang yang tak ada ampun lagi. Tidak ada toleransi, tidak ada solusi. Masyarakat disuruh mencari solusi sendiri,” katanya.

Pada hari pertama masuk sekolah, anak-anak diberikan pemahaman tentang situasi yang mereka alami. Mereka bertanya mengapa harus belajar di kebun sawit. Guru kemudian menjelaskan kepada mereka, dan akhirnya banyak anak dan ibunya yang menangis.

Menurut Aziz, pemerintah seharusnya memberikan solusi konkret agar pendidikan anak-anak tidak terganggu. Ia menilai bahwa kondisi ini seperti hukuman yang diwariskan turun-temurun. “Hukuman kepada orangtuanya itu, sawit yang tak laku lagi, anaknya harus menderita karena sekolahnya seperti itu,” ujarnya.

Upaya Warga untuk Solusi Jangka Panjang

Untuk hari kedua, warga berupaya memindahkan kegiatan belajar ke sebuah musalah yang berada di luar kawasan TNTN. “Tadi sudah dapat musalah tempat anak-anak belajar besok pagi. Yang penting tidak dalam kawasan TNTN,” tambah Aziz.

Sebelumnya, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) beberapa waktu lalu menyita lahan yang digarap warga di TNTN, termasuk di Dusun Toro Jaya. Pemerintah meminta warga melakukan relokasi mandiri, namun banyak yang menolak dengan alasan lahan itu dibeli secara sah. Hingga kini, ribuan warga masih bertahan di lokasi tersebut.