YUVAL
“, Minggu, 2 Maret 2025. Film dokumenter ini menyoroti realitas paralel di mana kedua sahabat ini hidup – Abraham dengan plat nomor kuning Israel yang memungkinkannya bepergian ke mana saja, sementara Adra terkurung di wilayah yang semakin sempit bagi warga Palestina.
.
Film yang mereka buat bersama jurnalis Rachel Szor dan Hamdan Ballal selama lima tahun ini menggambarkan tentara Israel merobohkan rumah-rumah dan mengusir penduduk untuk membangun tempat pelatihan militer dan perambahan pemukim Yahudi terhadap komunitas Palestina.
Awal Pembuatan Dokumenter
Kira-kira lima tahun lalu, Yuval dan Szor berkunjung ke wilayah tempat tinggal Adra dan Ballal di di Masafer Yatta di bagian selatan Tepi Barat yang diduduki. Yuval dan Rachel datang untuk melakukan pekerjaan jurnalistik. Ketika mereka lebih sering bertemu, keempatnya mulai berbicara tentang situasi politik.
Adra melihat Abraham dan Szor menunjukkan solidaritas terhadap nasib warga Palestina di wilayah pendudukan. Kedua jurnalis Israel itu menentang pendudukan dan sistem apartheid. Suatu hari, Hamdan menyarankan mereka untuk membuat film dokumenter untuk menunjukkan apa yang terjadi di sana.
. Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama-sama sebagai bagian dari aktivisme mereka. “Kami membuat film, mengambil foto dan menulis, dan kami pikir sangat penting untuk membuat film dokumenter ini untuk disajikan kepada penonton, terutama di dunia Barat,” kata Adra dalam wawancara dengan
Cineurope
. Orang-orang di Barat, menurut Adra, harus tahu apa yang didukung oleh pemerintah mereka dan ke mana uang dan senjata mereka pergi.
Diancam Akan Dibunuh
Ini bukan kemenangan mereka yang pertama. Februari 2024, film dokumenter ini juga mendapat penghargaan dalam Berlinale. Mereka berdua mendapat kesempatan tiga menit untuk berpidato, tetapi seminggu kemudian pidato Berlinale yang disampaikan oleh Abraham dan Adra masih terus bergema.
Di atas panggung itu, Abraham menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan Apartheid pemerintah Israel terhadap warga Palestina. “Kami hanya berjarak 30 menit satu sama lain, tetapi saya memiliki hak untuk memilih dan Basel tidak. Saya bisa bergerak bebas di seluruh negeri, tapi Basel, seperti jutaan orang Palestina lainnya, terjebak di Tepi Barat. Situasi apartheid di antara keduanya, ketidaksetaraan ini, harus diakhiri,” katanya, seperti dikutip
El Pais
.
Aula Berlinale meledak dalam tepuk tangan meriah yang telah menimbulkan masalah bagi Menteri Kebudayaan Jerman, Claudia Roth. Karena bergabung dengan acara tersebut, ia menghadapi seruan untuk mengundurkan diri. Kementeriannya secara mengejutkan mengklarifikasi di jejaring sosial bahwa tepuk tangan tersebut “ditujukan kepada jurnalis dan pembuat film Yahudi-Israel,” dan bukan kepada orang Palestina (Adra), karena orang Israel itu “berbicara mendukung solusi politik dan hidup berdampingan secara damai di wilayah tersebut.”
Masalah ini menjadi terlalu besar sehingga Abraham tidak lagi berbicara kepada media. Ia mengatakan kepada harian Israel
Haaretz
bahwa ia menerima puluhan, bahkan ratusan, pesan anonim, yang mengancamnya. “Saya seorang jurnalis dan saya telah menulis hal-hal yang lebih kritis daripada apa yang saya katakan dalam pidato tersebut, tetapi saya tidak pernah mengalami hal seperti ini. Saya takut. Itu sangat menegangkan,” katanya.
Abraham pernah mengunggah sebuah tweet di mana ia mengecam bahwa massa sayap kanan mendatangi rumahnya sehari sebelumnya untuk mencarinya dan mengancam anggota keluarga dekatnya, sehingga mereka harus melarikan diri ke kota lain pada malam hari. “Saya masih menerima ancaman pembunuhan dan harus membatalkan penerbangan pulang,” ia menulis.
Dituduh Anti-Semit
.”
Pada November, Abraham mengatakan kepada
Middle East Eye
bahwa tindakan keras Jerman yang obsesif terhadap perilaku pro-Palestina membuat hidup semakin sulit bagi orang-orang Yahudi dan Israel seperti dirinya yang ingin melihat berakhirnya perang di Gaza. “Saya terkejut dengan reaksi di Jerman,” kata Abraham.
Ia mengira Jerman mendukung Israel dan orang-orang Israel. Namun, kenyataannya mereka hanya mendukung orang-orang Israel yang percaya untuk melanjutkan pendudukan dan yang, dengan cara tertentu, menggemakan kebijakan-kebijakan pemerintah mereka.
Penggunaan kata “anti-semit”, menurutnya, disalah gunakan oleh Jerman untuk tidak hanya membungkam orang-orang Palestina pengkritik Israel, tetapi juga untuk membungkam orang Israel yang mendukung gencatan senjata yang akan mengakhiri pembunuhan di Gaza dan memungkinkan pembebasan para sandera Israel.
Ia juga menganggap aneh tuduhan tersebut mengingat bahwa neneknya lahir di sebuah kamp konsentrasi di Libya dan sebagian besar keluarga kakeknya terbunuh dalam Holocaust. Ia menambahkan: “Saya merasa sangat marah bahwa politisi Jerman pada 2024 memiliki keberanian untuk menggunakan istilah ini untuk melawan saya dengan cara yang membahayakan keluarga saya.”