Proses Pembahasan RUU KUHAP yang Terbuka dan Inklusif
Wakil Menteri Hukum RI, Edward Omar Sharif Hiariej atau lebih dikenal sebagai Eddy Hiariej, menyampaikan bahwa pemerintah dan DPR terus mencari masukan dari berbagai elemen masyarakat dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Ia menekankan bahwa RUU ini masih terbuka untuk diperdebatkan, termasuk melalui Rapat Dengar Pendapat Umum yang akan digelar oleh DPR.
Eddy menjelaskan bahwa Kementerian Hukum melakukan inventarisasi masukan secara rinci dan jelas. Setiap masukan yang diberikan oleh pihak-pihak tertentu dicatat dengan detail, termasuk siapa yang memberikan masukan dan kapan. Hal ini dilakukan agar dapat diakomodasi sesuai dengan pertimbangan yang jelas.
“Kita punya catatan yang rapi bahwa ini masukan dari siapa, kita akomodasi seperti ini, mengapa usulan ini tidak kita akomodasi, apa dasar pertimbangannya. Kami dari pemerintah dan DPR wajib untuk mendengarkan masukan, wajib untuk mempertimbangkan, kemudian dalam pertimbangan kita kenapa tidak digunakan usulan ‘A’ tapi kita menggunakan usulan ‘B’, itu kita wajib untuk menjelaskan kepada publik. Itu adalah arti dari meaningful participation,” ujarnya.
Filosofi Hukum Acara Pidana yang Berorientasi pada Hak Asasi Manusia
Eddy menegaskan bahwa filosofi hukum acara pidana bukanlah untuk memproses tersangka, tetapi untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara. Oleh karena itu, RUU KUHAP yang sedang dibahas dirancang agar tidak hanya mengutamakan satu pihak, tetapi juga melindungi pihak lainnya.
Dalam RUU tersebut, berbagai hak seperti hak korban, hak tersangka, hak perempuan, hak saksi, dan hak disabilitas akan dipertimbangkan. Filosofi utama dari hukum pidana adalah untuk melindungi hak asasi manusia dari tindakan yang tidak adil.
Menyeimbangkan Kewenangan Aparat Penegak Hukum
Dalam hukum acara pidana, terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu pihak pelapor dan pihak terlapor. Oleh karena itu, hukum acara pidana harus dirancang secara netral. Di satu sisi, ada kewenangan aparat penegak hukum, namun di sisi lain, kewenangan tersebut harus dikontrol agar tidak melanggar hak-hak asasi manusia.
Untuk mencegah kriminalisasi terhadap warga, pemerintah mengusulkan agar advokat ditempatkan setara dengan polisi dan jaksa. Ini bertujuan untuk menyeimbangkan kewenangan antara aparat penegak hukum dan individu yang terlibat dalam proses hukum.
Peran Advokat yang Penting dan Imperatif
Dalam RUU KUHAP, peran advokat sangat sentral. Setiap orang yang diproses secara hukum wajib didampingi oleh advokat sejak tahap penyelidikan. Advokat memiliki hak untuk mengajukan keberatan dan hal tersebut harus dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
“Peran advokat sangat sentral karena mulai seseorang ketika dipanggil, belum masuk ke penyidikan, ketika dia dipanggil untuk dimintai klarifikasi atau keterangan pada tahap penyelidikan, itu dia wajib didampingi oleh advokat. Advokat tidak hanya duduk diam di situ. Satu, dia berhak mengajukan keberatan. Kedua, keberatan itu dicatatkan dalam berita acara sehingga penyelidikan itu akan terlihat oleh umum,” kata Eddy.
Prinsip Due Process of Law dalam RUU KUHAP
Eddy mengakui bahwa KUHAP yang berlaku saat ini lebih fokus pada kewenangan aparat penegak hukum, bukan pada perlindungan HAM. Oleh karena itu, RUU KUHAP disusun dengan prinsip due process of law yang menjamin dan melindungi hak-hak individu serta memastikan aparat penegak hukum menjalankan aturan yang telah ditetapkan.
Restorative Justice dan Pengungkapan Kebenaran
Eddy setuju bahwa pengungkapan kebenaran sangat penting dalam proses hukum. Dengan adanya laporan fakta, jika seseorang kedapatan melakukan tindakan pidana yang kedua kalinya, ia tidak bisa lagi mendapatkan restorative justice.
“Pengungkapan kebenaran itu harus ada. Karena kalau tidak, kan dia tidak tahu dia benar atau salah. Nanti kasihan itu korban tidak mempunyai kepastian hukum. Harus ada suatu pengungkapan kebenaran supaya ketika dia melakukan perbuatan pidana lagi, tidak bisa lagi direstorasi karena sudah lebih dari satu kali. Jadi ada pembatasan-pembatasan terhadap pemberlakuan suatu perkara untuk dilakukan restorasi. Jadi tidak bisa seenaknya,” ujar Eddy.
