Kehidupan Seorang Guru Muda di Kelas Sederhana
Di sebuah ruang kelas yang sederhana, terletak di lantai dua UPTD SD Inpres Bertingkat Kelapa Lima 3 Kota Kupang, terdengar tawa riuh dari anak-anak. Di depan kelas, seorang guru muda berdiri dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dialah Violeta Esfandiary Baun, S.Pd, seorang perempuan kelahiran Kupang pada tanggal 24 Oktober 1991, yang memilih jalan hidup sebagai pendidik.
Meskipun usianya masih tiga puluhan, Violeta telah menjalani tanggung jawab besar. Ia menjadi pendamping, motivator, dan bahkan ibu kedua bagi murid-muridnya. Setiap pagi, ia selalu berdoa agar hari ini bisa menjadi berkat bagi anak-anak. Perjalanan Violeta dalam dunia pendidikan tidak datang secara tiba-tiba. Dari kecil, ia ditempa di Oesapa ketika pertama kali mengenakan seragam merah putih di SD Inpres RSS Oesapa. Dari sana, ia melanjutkan studinya ke SMP Negeri 5 Kupang dan SMK Negeri 3 Kupang, sebelum akhirnya merantau ke Yogyakarta untuk menempuh studi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Di Yogyakarta, Violeta belajar banyak hal, bukan hanya ilmu bahasa, tetapi juga bagaimana pendidikan bisa membuka cakrawala. Ia ingin anak-anak di Kupang merasakan hal yang sama. Setelah menyelesaikan studi di Pulau Jawa, Violeta memilih pulang ke tanah kelahirannya, Pulau Timor, NTT. Bagi sebagian orang, bekerja di kota besar mungkin lebih menjanjikan, namun bagi Violeta, Kupang adalah rumah. Ia ingin mengajar di sini, membesarkan mimpi anak-anak di sini. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” tegasnya.
Setiap hari, Violeta mendampingi puluhan siswa di kelasnya. Dari bangku kayu yang catnya mulai pudar dan papan tulis yang terkadang berdebu, ia menyalakan cahaya pengetahuan. Ia percaya bahwa di balik setiap anak ada potensi besar. Tugasnya adalah membantu mereka menemukannya.
Suasana di Kelas Violeta
Suatu siang, pelajaran Bahasa Inggris berlangsung. Violeta berdiri di depan, menuliskan kata-kata sederhana: “Good morning, how are you?” Suaranya jernih, penuh intonasi. Anak-anak pun menirukan dengan tawa dan semangat, meski lidah mereka sesekali berbelit. Violeta tidak pernah marah ketika muridnya salah. Baginya, setiap kesalahan adalah pintu belajar.
“Saya ingin kelas menjadi tempat yang menyenangkan. Kalau anak-anak bahagia, mereka akan berani mencoba,” katanya sambil mengusap pundak seorang murid yang sempat ragu menjawab. Dedikasi Violeta tidak berhenti ketika lonceng pulang berbunyi. Ia kerap tinggal lebih lama di sekolah, mendampingi murid-murid yang masih kesulitan membaca atau berhitung.
“Saya tidak ingin ada yang tertinggal. Semua punya hak yang sama untuk berhasil,” ujarnya. Bahkan di rumah, pikirannya tak lepas dari siswa-siswanya. Ia kerap menyiapkan metode pembelajaran kreatif, dari permainan bahasa hingga nyanyian sederhana. “Kadang malam saya terjaga, memikirkan bagaimana caranya agar anak-anak tidak cepat bosan,” ungkapnya jujur.
Pesan Orangtua dan Keyakinan
Dalam perjalanan hidupnya, Violeta tak lupa akan pesan sederhana orangtuanya. “Apa pun yang kamu kerjakan, lakukan dengan hati.” Kalimat itu menjadi pegangan dalam setiap langkahnya. “Mengajar dengan hati jauh lebih penting daripada sekadar menyelesaikan kurikulum,” ucapnya.
Bagi Violeta, keberhasilan seorang guru bukan diukur dari gelar atau penghargaan, melainkan dari keberanian murid-muridnya untuk bermimpi. “Harapan saya sederhana. Saya ingin anak-anak SD 3 Kelapa Lima Kupang tumbuh percaya diri, punya mimpi besar, dan berani bersaing di mana pun mereka berada,” katanya dengan suara bergetar.
Violeta sadar jalan ini tidak mudah. Fasilitas sekolah terbatas, tantangan ekonomi keluarga sering menghambat. Namun di balik semua itu, ia yakin bahwa pendidikan adalah jalan keluar. “Saya percaya pendidikan bisa mengubah masa depan. Dan saya ingin menjadi bagian kecil dari perubahan itu,” tuturnya.
Di ruang kelas sederhana itu, suara tawa anak-anak kembali pecah. Violeta berdiri di tengah mereka, senyumnya tak pernah pudar. Dari senyum itu, lahir sebuah keyakinan bahwa masa depan anak-anak Kupang masih punya cahaya.
