Tren Foto Polaroid: Kini Jadi Kecanduan, Wajah Pengguna Terancam Dipakai AI Tanpa Izin

Posted on

Tren Foto Polaroid AI: Hiburan atau Ancaman?

Beberapa waktu terakhir, media sosial ramai dengan unggahan foto polaroid yang menggunakan kecerdasan buatan (AI). Hasilnya memang menarik dan estetik, sehingga banyak orang, terutama kalangan muda, penasaran untuk mencoba. Banyak pengguna merasa puas karena wajah mereka tampak lebih artistik dan indah dari foto biasa.

Tren ini sangat berkaitan dengan rasa takut ketinggalan tren, yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Banyak pengguna mengunggah foto AI agar tidak merasa tertinggal dari teman-temannya. Namun, di balik keseruan tersebut, muncul pertanyaan besar: ke mana sebenarnya foto wajah yang kita unggah beredar? Apakah aman dalam “Big Data” internet? Ataukah ada risiko digunakan kembali oleh pihak lain untuk tujuan yang tidak pernah kita bayangkan?

Dari Tren Populer ke Potensi Bencana Digital

Penyalahgunaan wajah oleh teknologi AI sudah terjadi di berbagai negara. Di Tiongkok, aplikasi face-swapping terbukti menggunakan wajah orang lain tanpa izin. Kasus ini bahkan masuk ranah hukum dan diputus oleh pengadilan di Beijing. Di India, aktor Bollywood Anil Kapoor juga menggugat penggunaan wajahnya dalam konten deepfake tanpa izin. Pengadilan mengakui hak kepribadian Kapoor dan melarang pihak lain mengeksploitasi wajahnya.

Di Amerika Serikat, Meta pernah digugat karena dituduh menyimpan data biometrik pengguna tanpa persetujuan. Gugatan ini muncul karena data wajah diduga digunakan untuk mengembangkan teknologi pengenalan wajah. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa meskipun AI menawarkan hiburan dan kreativitas, ia juga membuka celah besar terhadap privasi individu.

Kasus Nyata di Sekitar Kita

Di Indonesia, kasus serupa belum banyak disorot media, namun bukan berarti risikonya tidak nyata. Seorang kenalan perempuan menjadi korban dugaan penyalahgunaan wajah oleh teknologi AI. Wajahnya diduga dipakai ulang dan beredar tanpa izin. Lebih parahnya, wajahnya dimanipulasi untuk konten tidak senonoh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Korban mengalami bingung dan tekanan psikologis yang berat. Ia menyalahkan diri sendiri hingga akhirnya mengalami depresi. Kini, ia bergantung pada obat antidepresan dan menjauh dari lingkungan sosial. Pengalaman ini membuat saya sadar bahwa ketidakjelasan regulasi terkait penyalahgunaan AI bisa menghancurkan kesehatan mental korban.

Wajah sebagai Data Pribadi

Perlu diingat, wajah bukan hanya citra visual. Dalam ranah teknologi, wajah adalah data biometrik yang sangat sensitif. Jika masuk ke sistem AI, data ini berpotensi digunakan untuk melatih model, ditempelkan pada konten tidak senonoh, atau bahkan digunakan untuk tujuan komersial tanpa izin pemiliknya. Bayangkan jika suatu hari wajah kita muncul dalam video eksplisit yang sama sekali tidak kita buat. Dampaknya tentu serius, baik secara pribadi maupun sosial.

Celah Regulasi di Indonesia

Indonesia memiliki UU ITE dan UU PDP, tetapi implementasinya masih lemah. Tidak ada mekanisme jelas untuk menindak penyalahgunaan data wajah dalam tren AI yang bersifat lintas platform dan lintas negara. Pakar hukum siber dari UI, Dr. Pratama Persadha, menegaskan perlindungan data biometrik harus menjadi prioritas. Ia menilai UU PDP mengatur data pribadi sensitif, tetapi penegakan dan kesadaran masyarakat masih jauh tertinggal dibandingkan laju perkembangan teknologi.

Dampak Psikologis: Lebih dari Sekadar Aib

Dari sisi psikologis, penyalahgunaan wajah tidak hanya menimbulkan rasa malu. Korban bisa mengalami trauma, rasa tidak aman, gangguan kecemasan, hingga depresi. Psikolog klinis Anastasia Satriyo menjelaskan bahwa korban deepfake sering mengalami self-blame dan kehilangan rasa percaya terhadap orang lain. Mereka merasa dikontrol dan dipermalukan, sehingga memilih menarik diri dari lingkungan sosial.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Sebagai masyarakat, kita tidak bisa menghentikan laju teknologi, tetapi bisa mengambil langkah sederhana:
1. Hindari mengunggah foto ke aplikasi AI yang tidak jelas keamanannya.
2. Biasakan membaca syarat dan ketentuan penggunaan aplikasi.
3. Jika terjadi penyalahgunaan, jangan diam. Segera laporkan ke pihak berwenang.
4. Edukasi diri dan orang sekitar, terutama anak-anak dan remaja, tentang risiko berbagi data pribadi di internet.

Sayangnya, langkah ke-3 kerap gagal karena celah dalam regulasi. Karena itu, penting kolaborasi antara masyarakat, akademisi, pemerintah, dan komunitas teknologi untuk memperkuat kesadaran dan membangun sistem perlindungan data yang lebih tegas.

Tren AI memang menyenangkan dan memberi pengalaman baru. Namun, kita perlu lebih kritis dan berhati-hati. Jangan sampai demi foto polaroid yang estetik, kita justru kehilangan kendali atas data paling pribadi, yakni wajah kita sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *