Pembebasan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto: Dampak pada Upaya Pemberantasan Korupsi
Pembebasan eks Menteri Perdagangan, Tom Lembong, dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, dari rutan setelah menerima abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, menimbulkan berbagai pertanyaan terkait dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kedua tokoh ini keluar dari penjara pada hari Jumat (01/08) setelah Keputusan Presiden yang ditandatangani oleh Prabowo pada 1 Agustus 2025 diserahkan ke rutan.
Tom Lembong meninggalkan rutan Cipinang sekitar pukul 22.00 WIB dengan mengenakan kaos polo biru gelap. Ia ditemani oleh istri, kuasa hukum, dan Anies Baswedan. Sementara itu, Hasto Kristiyanto meninggalkan rutan KPK dalam kondisi memakai jas dan kaos merah bersama kuasa hukumnya. Keduanya menyampaikan terima kasih atas pemberian amnesti dan abolisi tersebut.
Meskipun proses hukum dan putusan pengadilan terhadap keduanya dinilai memiliki kejanggalan, para pengamat hukum menyatakan bahwa pembebasan ini “mempermainkan hukum” dan akan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi. Hal ini karena amnesti dan abolisi baru kali ini diberikan untuk terpidana korupsi sejak Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 berlaku.
Hasto Kristiyanto sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait perkara korupsi Harun Masiku, sementara Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula kristal mentah. Presiden Prabowo kemudian melalui Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tertanggal 30 Juli 2025 meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.178 narapidana, termasuk nama Tom dan Hasto.
Pemerintah menyatakan bahwa amnesti dan abolisi yang disetujui DPR bertujuan untuk menjaga kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan demi kepentingan bangsa dan negara. Namun, beberapa pakar hukum menilai bahwa tujuan amnesti dan abolisi yang sejatinya berkaitan dengan rekonsiliasi dan hak asasi manusia telah dibelokkan dari semangat awalnya.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, dalam jumpa pers mengatakan bahwa Presiden Prabowo tetap berkomitmen pada penguatan pemberantasan korupsi. Ia menegaskan bahwa Presiden tidak menyebut orang tertentu ketika menyusun daftar penerima amnesti dan abolisi. Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa mekanisme abolisi dan amnesti dapat dimanfaatkan para koruptor untuk bebas dari kejahatannya.
Peneliti ICW, Yassar Aulia, menyatakan bahwa terpidana korupsi seharusnya tidak layak menerima amnesti dan abolisi. Pemberian dua hal tersebut dapat memicu implikasi besar pada pemberantasan korupsi. Sahel Muzammil dari Transparency International Indonesia (TII) juga menyebut bahwa terpidana korupsi, apalagi yang kasusnya masih ada di pengadilan tingkat pertama, tidak sepatutnya menerima pengampunan maupun penghapusan penuntutan.
Selain itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto, menyatakan bahwa kasus yang dihadapi Tom dan Hasto adalah dugaan korupsi yang kental motivasi politik. Dugaan politisasi disebutnya bisa menjadi alasan untuk memberi amnesti dan abolisi sepanjang memiliki alasan yang kuat.
Sejarah amnesti dan abolisi di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan ini sering dikaitkan dengan urusan politik. Misalnya, pada masa Presiden Soekarno, amnesti dan abolisi diberikan kepada para anggota gerakan yang dituding memberontak. Sementara itu, pada era Soeharto, amnesti dan abolisi diberikan pada para narapidana terkait peristiwa Awom, Mandacan, dan Wagete-Enaratoli yang berkaitan dengan upaya kemerdekaan Papua pada 1969.
Dalam konteks saat ini, keputusan pemberian amnesti dan abolisi terhadap Tom dan Hasto menimbulkan banyak pro dan kontra. Banyak pihak khawatir bahwa langkah ini bisa menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan juga bisa terganggu jika intervensi melalui amnesti dan abolisi terus dilakukan tanpa pertimbangan yang matang.


