Tiga Sibling, Tiga Layar, Satu Petualangan Dunia yang Berubah

Posted on

Pendahuluan

Sore itu, langit di kampung halaman terlihat tenang. Angin berembus perlahan, menebarkan aroma tanah yang basah habis disiram hujan semalam. Saya duduk di beranda rumah tua peninggalan orang tua, tempat saya tumbuh besar, bermain lumpur, memanjat pohon jambu, dan berteriak-teriak mengejar layangan bersama saudara sepupu.

Hari itu, anak saya dan dua sepupunya yang jarang bertemu karena terpisah jarak dan kesibukan kota akhirnya berkumpul. Saya sempat membayangkan mereka akan berlari bersama, tertawa tanpa beban, membentuk petualangan baru seperti yang dulu pernah saya alami.

Tapi kenyataannya… mereka bertiga duduk di tikar. Bukan untuk bermain ular tangga atau menyusun kartu, tapi masing-masing memegang smartphone, tenggelam dalam layar, jari mereka menari cepat seolah tak ingin ketinggalan momen dalam dunia digital yang hanya mereka yang mengerti.

Saya Hampir Salah Paham

Jujur saja, hati saya sempat terasa kosong. “Beginikah pertemuan setelah sekian lama?” pikir saya. Tidak ada peluk, tidak ada pelesiran ke sungai, tidak ada rebutan sendal jepit. Yang ada hanyalah tiga anak, tiga gawai, dan hening yang sesekali pecah oleh tawa pendek atau seruan, “Eh, bantuin gue dong, sini lawannya susah.”

Saya hampir menganggap mereka terasing, tapi saya salah. Sesekali saya lihat mereka saling melirik, bertanya strategi, tertawa bareng melihat kekonyolan karakter di game, bahkan menepuk pundak saudaranya sambil berseru, “Tuh kan, bener kataku!”

Ternyata mereka tidak sepenuhnya sendiri. Mereka sedang bermain bersama. Hanya saja, dunia tempat mereka bermain kini berbeda dari dunia yang dulu saya kenal.

Dulu dan Sekarang

Saya teringat masa kecil. Gadget belum ada. Dunia kami adalah kebun pisang, lapangan yang tak pernah rata, dan parit tempat kami membangun kapal dari pelepah pisang. Dunia kami penuh suara: Suara kakek, suara ayam, suara tertawa yang lepas tanpa notifikasi.

Kini, dunia mereka lebih sunyi secara fisik tapi ramai secara virtual. Mereka tidak lari di kebun, tapi melompat-lompat di medan digital. Mereka tidak saling lempar bola, tapi bertukar skin dan taktik.

Antara Kecemasan dan Harapan

Saya cemas, tentu saja. Saya tahu dampak buruk gadget jika digunakan tanpa batas: Gangguan tidur, emosi tidak stabil, bahkan isolasi sosial. Tapi saya juga tahu, melarang sepenuhnya adalah langkah yang sia-sia dan bisa menyakitkan.

Mungkin yang harus saya lakukan bukan melarang, tapi mendampingi. Bukan memusuhi, tapi memahami.

Saya mulai bertanya, “Main game apa, Nak?” Dia menjawab antusias. Lalu saya ajukan tantangan, “Kalau nanti mainnya udah cukup, yuk kita bikin video bareng di kebun belakang.” Dan dia menyetujui.

Dunia yang Berubah, Tapi Cinta yang Sama

Anak-anak kita tumbuh di zaman yang berbeda. Tapi mereka tetap butuh hal yang sama: Perhatian, kebersamaan, dan cinta yang nyata.

Saya tak ingin kehilangan momen bersama mereka hanya karena kesalahpahaman saya sendiri tentang dunia yang mereka jalani.

Maka saya berjanji pada diri sendiri: Saya akan terus hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Saya akan ikut mendengar cerita mereka entah itu tentang skor di game, atau tentang musuh digital yang sulit ditaklukkan. Dan saya akan mengajak mereka kembali, perlahan, ke dunia nyata dengan permainan sederhana, pelukan hangat, dan cerita-cerita masa kecil saya yang dulu.

Epilog: Tiga Anak, Tiga Layar, dan Saya yang Belajar

Hari itu saya belajar banyak. Dari tiga anak yang duduk melingkar dengan gawai masing-masing, saya belajar bahwa:

– Dunia mereka memang berbeda.

– Tapi kebutuhan dasarnya sama: Koneksi yang tulus.

– Dan tugas kita, sebagai orang dewasa, adalah menjembatani dua dunia itu dengan kasih dan pengertian.

Karena di balik layar yang menyala itu, mereka tetap anak-anak kita yang sedang mencari perhatian, petualangan, dan cinta, hanya dengan cara yang baru.

Kampung Halaman, dengan cinta yang tak berubah meski zaman berubah.