Peristiwa 1965 dan Dampaknya pada Kepemilikan Tanah
Peristiwa kekerasan tahun 1965 yang menargetkan kelompok komunis dan yang terafiliasi dengannya kini genap 60 tahun. Tragedi ini tidak hanya merenggut banyak korban jiwa, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi para penyintas. Salah satu korban, Wahid, mengingat masa kecilnya dengan hangat. Saat itu, ia dan keluarganya tinggal di sebuah rumah petak di kawasan Perkebunan Panigoran, Sumatra Utara. Meski penghasilan orang tuanya terbatas sebagai buruh perkebunan, mereka selalu bisa menyediakan makanan yang cukup untuk keluarga.
Makan malam menjadi momen berharga bagi keluarga Wahid. Ibu Wahid memasak masakan sederhana seperti sayur bayam dengan tahu atau tempe goreng. Sesekali, ia juga membuat telur mata sapi yang selalu disambut antusias oleh anak-anak. Walaupun hidup sederhana, Wahid merasa penuh dan bahagia.
Namun, segalanya berubah ketika Peristiwa 1965 meletus. Ayah Wahid dibawa dan ditangkap tentara karena dianggap bagian dari kelompok komunis. Penjara selama tujuh tahun dijatuhkan tanpa proses hukum yang layak. Kehidupan Wahid dan keluarganya langsung limbung. Ibunya tak henti mengungkapkan kekecewaan dan tidak tahu harus mengadu ke mana.
Setelah ayahnya hilang, keluarga Wahid harus menghadapi pengusiran paksa dari kediaman mereka yang telah mereka tempati selama sekitar 10 tahun. Pihak pemerintahan desa, ditemani tentara, datang ke rumah mereka dan meminta dokumen tanah serta kependudukan. Dokumen tersebut akhirnya tidak kembali, dan lahan milik keluarga Wahid dirampas oleh negara. Satu batalion tentara bersenjata lengkap lalu mendesak keluarga Wahid untuk segera angkat kaki dari lahan tempat rumahnya berdiri.
Lahan yang seukuran lapangan badminton itu, yang di dalamnya terdapat satu bangunan rumah serta kebun kecil, akhirnya dihancurkan. Wahid dan keluarganya terpaksa membawa barang-barang yang bisa dibawa tangan. Setelah itu, mereka pindah ke Gerojokan Pulo, dekat Panigoran, masih di wilayah Labuhanbatu Utara, Sumatra Utara. Kehidupan di sana sangat berat. Untuk menjaga napas nyawa, Wahid bekerja di ladang meskipun usianya masih sangat belia.
Peran Militer dalam Penguasaan Tanah
Dosen hukum tata negara dan HAM dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, menjelaskan bahwa penguasaan tanah oleh militer merupakan wajah bagaimana institusi tersebut, dengan peran politiknya, “telah menorobos dominasi politik negara”. Menurut Herlambang, keterlibatan militer dalam persoalan tanah kerap berujung konflik lantaran dibarengi dengan kekerasan atau pemaksaan yang berpola.
Konflik agraria yang menonjolkan aksi militer, tambah Herlambang, tidak dapat disederhanakan sebagai “tindakan negara” lantaran karakter militer—struktur dan ideologi—memungkinkan mereka untuk menjadi entitas politik yang otonom. Sebelum turun secara aktif di tragedi 1965, klaim Herlambang, militer sudah memiliki riwayat dalam perampasan tanah warga.
Herlambang membagi persinggungan militer dan penguasaan tanah menjadi tiga babak periodisasi. Periode pertama muncul pada 1950 sampai 1958—yang dikenal dengan masa revolusi kemerdekaan dan perang darurat militer. Pada masa ini, banyak sekali tanah-tanah rakyat yang diserahkan kepada tentara karena hubungan rakyat dan tentara cukup baik dan dipengaruhi semangat mempertahankan kemerdekaan.
Pada masa ini, rakyat, terutama di wilayah pedesaan, berkontribusi dalam menyediakan akomodasi berupa makanan sampai jasa menjadi mata-mata untuk memberikan informasi posisi serdadu-serdadu Belanda. Semua, mengutip riset Herlambang, dilakukan secara sukarela agar cita-cita revolusi 1945 tercapai.
Peran Militer dalam Nasionalisasi Tanah
Pada periode kedua, yaitu setelah 1958 menuju 1965, konteksnya adalah nasionalisasi lewat Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958. Dalam benak masyarakat, dengan nasionalisasi, mereka bisa menduduki tanah-tanah yang dulunya dikuasai Belanda. Karena warga merasa ini negara merdeka.
Namun, undang-undang nasionalisasi justru membuat keadaan berbalik. Bukan warga yang mengklaim tanah itu, tapi perusahaan negara yang mengambilnya, termasuk militer. Harold Crouch, melalui bukunya, The Army and Politics in Indonesia (1978), memaparkan nasionalisasi yang dijalankan pemerintah telah menawarkan kesempatan bagi tentara untuk mengurusi sektor ekonomi.
Crouch menyebut para perwira Angkatan Darat mengelola perusahaan-perusahaan baru yang bergerak di sektor perkebunan, pertambangan, perbankan, hingga perdagangan. Memasuki 1960, peran tentara diperluas dengan kewenangan mengawasi korporasi-korporasi asing yang masuk. Dengan begitu, tidak sebatas fungsi militer yang semakin lebar, tapi juga kekuatan politik mereka yang menguat.
Konflik Agraria Pasca-1965
Tragedi 1965, menurut antropolog dan peneliti senior dari Agrarian Resource Center (ARC), Dianto Bachriadi, mengubah peta yang ada. Tanah, sebagai objek landreform, dinilai militer merupakan bagian dari ideologi PKI yang sudah dipersepsikan antagonis, pembangkang, atau momok pemerintah. Oleh sebab itu, negara, dalam hal ini diwakili militer, memiliki keleluasaan untuk “menarik kembali”—atau dengan kata lain merampasnya dari penduduk.
Kepentingan tentara untuk menguasai tanah-tanah, sebenarnya, sudah muncul sejak era 1950-an, bertepatan kebijakan nasionalisasi. Pada 1965, ada satu kesempatan politik yang besar sekali untuk tentara menguasai lebih banyak lagi tanah itu, baik tentara per individu atau kesatuan.
Sasaran tentara, Dianto meneruskan, ialah tanah-tanah yang berlokasi di lahan landreform, atau justru objek landreform itu sendiri. Bentuknya dapat berwujud tanah milik individu, hasil redistribusi agraria, atau skala besar seperti perkebunan.
Pengaruh Orde Baru terhadap Tanah
Setelah Peristiwa 1965 meletus, militer melakukan operasi penyisiran sekaligus penguasaan tanah-tanah warga yang berada di area perkebunan setempat. Militer menangkapi warga, menuding mereka sebagai anggota BTI, serta mengambil paksa tanahnya. Bagi warga yang tidak terlibat aktivitas politik, militer memanipulasi mereka dengan meminta dokumen kepemilikan tanah; berdalih bahwa pemerintah desa membutuhkannya untuk pembaharuan. Kenyataannya, dokumen warga tidak pernah kembali.
Tanah warga seketika diklaim, dan bagi yang melawan tentara mempunyai amunisi berwujud pelabelan komunis sehingga menyiutkan nyali mereka yang memberontak—karena kekerasan merupakan reaksi yang dapat timbul setelahnya.
Warisan 1965: Cap Komunis terhadap Warga yang Memprotes Kepemilikan Lahan
Seniman, warga pesisir Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, berusia 52 tahun, mempercayai tanah yang dia tinggali sekarang merupakan warisan keluarga yang diturunkan temurun. Prinsip ini diyakini juga oleh mayoritas masyarakat yang hidup di 15 desa lainnya. Walaupun peninggalan keluarga, upaya untuk melindungi lahan secara hukum turut dilangsungkan sejak 1950-an dengan harapan di masa depan tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan.
Namun, warga di Urut Sewu keliru. Pada 1998, TNI AD disebut melakukan pemetaan secara sepihak terhadap tanah seluas 500 meter dari bibir pantai—memanjang 22 kilometer dan melewati 15 desa—untuk lokasi latihan. TNI AD menyatakan area tersebut adalah milik mereka.
Pemanfaatan lahan di Urut Sewu oleh TNI AD tidak cuma untuk latihan. Pada 2008, Kodam IV/Diponegoro menerbitkan surat persetujuan pengelolaan tanah untuk penambangan pasir besi. Izin diberikan kepada satu perusahaan yang kursi komisarisnya diisi jenderal TNI berbintang.
Warga di Urut Sewu semakin kecewa dan menolak klaim kepemilikan TNI maupun rencana penambangan pasir besi. Masyarakat mendesak TNI AD menunjukkan dokumen yang menyatakan TNI AD berhak atas tanah di Urut Sewu. Izin persetujuan pemanfaatan untuk tambang pasir besi sendiri pada akhirnya dicabut. Tapi, penghapusan izin itu tak serta merta menghalau konflik TNI AD dan warga Urut Sewu.
Aksi tentara yang memagari lahan sepanjang 2013 sampai 2019, sebagai contoh, dikritik masyarakat setempat lantaran menjauhkan upaya pencarian solusi terhadap masalah yang ada. Belum reda betul, per 2021, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan sertifikat hak pakai untuk TNI AD di sembilan desa.
Pihak Kodam IV/Diponegoro membantah kalau tanah di Urut Sewu milik warga. Mereka menegaskan lahan yang dikelola untuk fasilitas militer adalah peninggalan kolonial yang diserahkan kepada negara—sebelum diturunkan ke TNI. Kodam IV/Diponegoro berdalih pertikaian di antara warga dan TNI mengenai lahan di Urut Sewu merupakan hasil dari provokasi dan berita hoaks.
Perjuangan warga Urut Sewu mempertahankan tanahnya tidaklah mudah, dan tidak jarang mesti beradu dengan kekerasan. Organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu HAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mencatat dugaan adanya tindakan represif tentara terhadap warga di Urut Sewu pada 2011. Dalam insiden tersebut, sebanyak 14 orang dilaporkan mengalami luka-luka.
Empat tahun berselang, pada 2015, peristiwa serupa terulang dengan empat warga terluka akibat dugaan kekerasan oleh personel TNI AD. Kesamaan dari dua kejadian itu, sebut ELSAM, terduga pelaku tidak pernah diusut. Selain kekerasan fisik, warga mendapat tekanan berupa intimidasi narasi “komunis.” Menurut Seniman, banyak warga Urut Sewu diancam sebagai “anggota PKI” agar tidak memprotes kepemilikan lahan oleh tentara.
“Mereka [tentara] bilang kepada warga bahwa kalau mempertahankan tanah itu seperti [anggota] PKI,” kenang Seniman. Seniman menambahkan bahwa tentara juga menyebarkan narasi yang menuding PKI sebagai partai yang “tidak nasionalis dan religius.” Propaganda dan “serangan” semacam ini, kata Seniman, tak bisa dimungkiri membuat sebagian warga ketakutan. Akibatnya, mereka yang tadinya gigih menolak klaim kepemilikan lahan oleh tentara akhirnya memilih bungkam.
Pemberian label komunis menjadi taktik umum untuk membungkam masyarakat yang terlibat dalam konflik agraria. Pasca-1965, militer secara konsisten menggunakan pendekatan ini untuk mengamankan kepentingan dan hegemoni mereka, termasuk di isu pertanahan. Bahkan setelah Orde Baru runtuh, taktik “antek komunis” masih digunakan untuk mencap warga yang dianggap “membangkang.”
