Sejarah Perlawanan di Kalimantan Timur
Kalimantan Timur tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga menyimpan jejak sejarah perlawanan terhadap penjajahan yang penuh makna. Salah satu bagian penting dalam sejarah tersebut adalah perjuangan masyarakat di bawah Kerajaan Paser dan Kerajaan Berau melawan penjajahan Belanda.
Perlawanan ini tidak hanya tercatat dalam naskah sejarah, tetapi juga terwujud dalam bentuk senjata tradisional yang kini tersimpan di museum-museum budaya lokal. Perjuangan masyarakat di bawah Kerajaan Paser terjadi dalam dua periode, yaitu pada 1907 dan 1918. Pada masa perjuangan melawan penjajah, prajurit Kerajaan Paser mengandalkan senjata tradisional seperti sumpit dan mandau.
Mandau adalah senjata tajam khas suku Dayak, berbentuk seperti parang dengan bilah yang dihiasi ukiran. Senjata ini sering dianggap sebagai senjata keramat dan hanya digunakan oleh kepala suku atau prajurit terlatih. Sumpit, atau sipet dalam bahasa Dayak, adalah senjata tiup berbentuk tabung panjang yang digunakan untuk melontarkan anak panah kecil beracun. Racun yang digunakan berasal dari getah pohon ipuh atau iren, dan dikenal sangat mematikan. Sumpit memiliki akurasi tinggi hingga 200 meter dan digunakan secara senyap, menjadikannya senjata yang ditakuti oleh pasukan Belanda.
Edukator Museum Sadurengas, Sri Wahdaniyati Rahma, menjelaskan bahwa senjata seperti sumpit beracun, tombak, mandau, dan pisau (sadok) menjadi senjata utama para pejuang Paser. Museum ini terletak di Desa Paser Belengkong, Kecamatan Paser Belengkong, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Lokasinya berjarak sekitar 8 km dari Kota Tana Paser dan dapat ditempuh dalam waktu 10–15 menit. Dulunya, museum ini adalah istana Kesultanan Paser dan kini menjadi pusat pelestarian budaya dan sejarah lokal.
Pada masa itu, Pangeran Panji Nata Kusuma dari Desa Lempesu memimpin pemberontakan pertama, meski akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Banjarmasin bersama empat tokoh lainnya. Setelah masa pengasingan, semangat perlawanan kembali bangkit pada 1914, dipimpin oleh tokoh muda yaitu putra dari Pangeran Syarif. Kala itu, Anden Oko, Anden Gedang, dan Walid, kembali menggalang kekuatan dan memulai perlawanan kedua yang berlangsung hingga 1918 dengan menggunakan senjata tradisional.
Beberapa senjata peninggalan perjuangan tersebut kini tersimpan dan dipamerkan di Museum Sadurengas, termasuk sumpit beracun dan mandau. Selain itu, di museum ini juga menyimpan meriam kecil yang merupakan peninggalan dari Belanda. Meriam kecil adalah jenis senjata artileri berukuran kompak yang digunakan untuk menembakkan proyektil logam dengan daya ledak terbatas, biasanya dalam jarak pendek hingga menengah.
Sementara jejak sejarah perjuangan di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur terlihat dari peninggalan sejarah berupa meriam di Kelurahan Nenang, Kecamatan Penajam. Meriam ini dikelilingi pagar tembok rendah bercat hijau muda. Kondisinya secara umum masih utuh, namun terlihat jelas tanda-tanda penuaan dan pelapukan akibat usia. Bagian laras meriam masih memanjang kokoh, namun catnya tampak mulai memudar dan terdapat bintik-bintik karat di beberapa titik. Mekanisme pengarah meriam masih terlihat, meski kemungkinan sudah tidak berfungsi karena karatan.
Perlawanan Kerajaan Berau
Dari wilayah Kalimantan Timur, Kerajaan Berau merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah. Kerajaan Berau melatarbelakangi adanya Kesultanan Gunung Tabur dan Sambaliung. Dua kesultanan tersebut masih ada hingga sekarang. Bangunan Kesultanan Keraton Gunung Tabur terletak di Kecamatan Gunung Tabur dan bangunan kesultanan Sambaliung berdiri di Kecamatan Sambaliung.
Kejaraan Berau berdiri pada abad ke-14. Juru Pelihara dan Guide Keraton Gunung Tabur Sayid Rahmansyah menjelaskan Raja Berau pertama yakni Baddit Dipattunh atau Aji Surya Nata Kesuma yang memimpin Kerajaan Berau pada 1377-1401. Awal mula berdirinya kerajaan ini dibentuk memeluk keyakinan Hindu tetapi dengan seiring berjalannya waktu dan masuknya agama Islam ke dalam daerah tersebut di abad ke-17, kerajaan tersebut berubah menjadi Kesultanan Islam.
“Kerajaan Berau runtuh di abad ke-19 setelah menjadi salah satu korban politik serta adu domba yang dilancarkan oleh Belanda,” ungkapnya. Saat itu, Adji Dilayak (Dilayas) adalah raja terakhir di Kerajaan Berau yakni raja ke-9. Kekuasaannya cukup luas hingga menguasai Kinabalu dan Bulungan. Masa kekuasaannya yakni tahun 1576-1600.
Kemudian, ia memiliki dua ratu dan masing-masing ratu memiliki satu keturunan laki-laki. Keduanya, yakni bernama Pangeran Tua anak laki-laki istri pertama. Dan Pangeran Adipatti Saparuddin dari istri yang kedua. Lantaran politik adu domba Belanda, Pangeran Adipatti Sapruddin memilih untuk mengikuti kemauan Belanda. Sedangkan Pangeran Tua tidak mau menjadi sekutu Belanda.
Pangeran Tua pun wafat dan tahtanya diturunkan kepada Sultan Alumuddin atau Raja Alam. “Saat itu Raja Alam diasingkan ke Makassar dan Pangeran Adipatti meminta keturunan Pangeran Tua untuk kembali ke tanah Berau,” jelasnya. Akhirnya, Raja Alam membentuk kerajaan sendiri. Yang saat ini disebut sebagai Kerajaan Sambaliung.
Kerajaan Berau runtuh, dan terbagi menjadi dua. Batas kekuasaan kerajaan Gunung Tabur ditandai dengan Sungai Segah. Sepanjang Sungai Segah hingga Tanjung Batu adalah kekuasaan Gunung Tabur. Sedangkan kekuasaan Kerajaan Sambaliung berada di kawasan sungai Kelay hingga Tanjung Mangkaliat.
Mitos dan Legenda di Kerajaan Sambaliung
Sultan terakhir di Gunung Tabur ialah yang menjadi Bupati Berau pertama. Yakni Sultan Aji Raden Muhammad Ayub. Pada tahun 1960, sesuai dengan UU darurat menjadikan dasar penghapusan 4 kerajaan di Kalimantan Timur. Termasuk kerajaan Gunung Tabur dan Sambaliung.
Sayid Rahman pun menjelaskan bangunan Keraton Gunung Tabur bukanlah asli. Melainkan dibangun ulang menyerupai bangunan asli. Sebab, pada menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia, Keraton Gunung Tabur berhasil dibakar oleh penjajah. Beberapa barang di dalam keraton Gunung Tabur, masih banyak barang-barang peninggalan asli.
Sementara itu, di Keraton Sambaliung, semua bangunan yang berdiri masih asli. Dan Sultan terakhir yang tinggal di sana adalah Sultan Muhammad Aminuddin yang menjadi ke delapan. Pengurus Keraton Sambaliung, Aidah Syafriani mengatakan Sultan Muhammad Aminuddin dipercayai memiliki ilmu tersendiri. Sehingga percobaan pengeboman bangunan kesultanan Sambaliung tak bisa dihancurkan. Karena itu, pihaknya memiliki monumen tangan yang menangkis peluru atau bom dari pesawat tempur.
“Kami memperoleh fakta itu, dari ucapan pilot Australia yang mengatakan saat menjatuhkan bom, ada tangan besar yang menangkap dan kemudian menghilang. Itu terjadi selama 5 kali. Gencatan senjata itu, terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Sekutu Belanda yakni Australia yang membantu menghancurkan kembali,” tegasnya.
Pihaknya mengatakan mengarsipkan cerita-cerita dan fakta yang ada masih terus berlanjut. Kegiatan itu juga didukung oleh Universitas Gajah Mada, dan profesor yang ahli dibidangnya. Untuk mencari langsung fakta-fakta lain di negeri Belanda.
Salah satunya, kegiatan yang mereka kejar saat ini, menjadikan Raja pertama di kesultanan Sambaliung yakni Raja Alam, untuk dijuluki pahlawan nasional. Aidah pun bercerita, Raja Alam sebagai raja pertama ketika berperang selalu berteriak “Sembalatiung” yakni berarti hanya takut kepada yang maha kuasa. Sebab, saat itu lawan mereka adalah Belanda yang ingin menghancurkan kerajaan Sambaliung yang tidak mau menjadi sekutu. “Karena slogan itu, sekarang nama daerah ini Sambaliung,” tutupnya.
