Film Sore: Istri dari Masa Depan yang Menyampaikan Pesan Ekologis Melalui Cinta
Film Sore: Istri dari Masa Depan menghadirkan kisah cinta yang unik dan penuh makna. Di dalamnya, terdapat kutipan yang menyentuh: “Laki-laki tidak akan bisa diubah sesuai dengan kemauan wanita, tapi laki-laki akan berubah karena dia benar-benar mencintai wanitanya.” Kutipan ini terdengar seperti nasihat biasa, namun dalam konteks film, ia justru menjadi sindiran yang tajam. Tidak hanya untuk tokoh utama Jonathan, tetapi juga untuk seluruh manusia yang masih saja buta terhadap ancaman krisis iklim.
Kelihaian sutradara Yandy Laurens terlihat dalam cara ia membungkus cerita tentang krisis iklim dalam narasi cinta fiksi ilmiah. Film ini mengisahkan Sore (Sheila Dara), seorang perempuan yang datang dari masa depan. Tujuannya adalah menyelamatkan suaminya, Jonathan (Dion Wiyoko), dari kematian dini. Jonathan adalah seorang fotografer yang tinggal di Kroasia. Salah satu obsesinya adalah memotret perubahan iklim, termasuk es yang mencair dan keberadaan beruang kutub. Meski memiliki mimpi untuk menggelar pameran fotografi tentang krisis iklim, temannya Carlo pesimistis. Dunia dinilai sudah bosan mendengar cerita tentang bumi yang sekarat.
Di tengah situasi itu, Sore muncul dalam hidup Jonathan. Ia memberi kabar bahwa Jonathan akan mati akibat serangan jantung beberapa tahun setelah menikah. Untuk mencegah hal itu, Sore melakukan intervensi dengan mengubah pola hidup Jonathan. Namun, Jonathan keras kepala dan sulit diatur. Setiap kali ia mengabaikan saran Sore, perempuan itu lenyap dan kembali lagi. Siklus ini terus berulang, menggambarkan sebuah time looping yang menguras pikiran dan emosi.
Sore tidak hanya mencoba mengubah Jonathan, tetapi juga menunjukkan bahwa perubahan harus datang dari diri sendiri. Ia hadir sebagai alegori ekofeminisme, mengingatkan kita pada hubungan antara perempuan dan bumi. Dalam banyak budaya, perempuan dan bumi sering digambarkan sebagai sosok yang subur, memberi kehidupan, tetapi rentan terhadap eksploitasi. Contohnya adalah Gaia dari mitologi Yunani atau Dewi Sri dalam tradisi Jawa. Keduanya merupakan simbol kesuburan dan kelangsungan alam, namun dalam sistem modern, citra ini mulai tergantikan oleh mesin dan logika produksi.
Ekofeminisme melihat ini sebagai jejak dominasi patriarki terhadap tubuh dan tanah. Ketika perempuan dan bumi direduksi menjadi objek, relasi manusia dengan dunia menjadi kuasa, bukan perawatan. Sore dalam film ini hadir sebagai pengingat akan relasi yang hilang. Saat tubuhnya lenyap setiap kali Jonathan menolak mendengarkan, itu seperti metafora bagaimana alam terus memberi tanda. Bumi tidak bisa dipaksa untuk terus memberi tanpa kehancuran.
Jonathan adalah cermin dari kita semua. Hidup dalam repetisi dan passive nihilism. Kita tidak akan berubah hanya karena pidato besar tentang perubahan iklim. Yang menggerakkan Jonathan justru bukan fakta maupun data, melainkan fenomena alam yang cantik dan memukau—seperti aurora. Di sanalah ia belajar bahwa perubahan karena cinta jauh lebih kuat dibanding sekadar takut mati.
Filsuf lingkungan David Abram menyebut pengalaman ini sebagai “ecological perception”. Suatu momen saat kita merasakan pentingnya alam dalam tubuh. Dalam bukunya The Spell of the Sensuous (1996), Abram menulis bahwa dunia modern telah membuat kita buta secara indrawi. Kita hidup dari layar ke layar, tanpa pernah menyentuh embun pagi atau mendengarkan kicau burung di alam.
Krisis ekologis hari ini bukan hanya disebabkan oleh kerusakan lingkungan, tetapi oleh hilangnya keintiman manusia dengan dunia non-manusia. Oleh sebab itu, perubahan harus dimulai dari pengalaman subjektif yang menyentuh. Sore bukan hanya film fiksi ilmiah romantis, tetapi alegori dari bumi yang tidak didengar. Ia terus memberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya bagi manusia.
Film ini mengajak kita untuk lebih peka terhadap tanda-tanda alam. Lebih perhatian pada hembusan angin pagi, gesekan suara daun, atau bahkan rasa air hujan. Mungkin itulah cara bumi mencoba bicara. Dan mungkin lagi, seperti Sore, bumi hanya menunggu untuk dicintai seutuhnya oleh manusia.
Hai, aku Sore! Aku datang dari masa depan. Aku melihat yang belum terjadi, aku tahu apa yang akan rusak, yang akan hilang, yang tidak akan bisa kau perbaiki lagi. Tapi suara dan cintaku tidak kau dengar. Aku terus bicara, tapi kalian sibuk dengan hal lain. Aku perlahan retak, pelan-pelan menjauh, dan ketika kalian sadar, semuanya telah berubah. Aku adalah alegori dari Bumi yang terus berbicara, tapi tak lagi kalian dengar.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
