Setara Institute Kritik Pembentukan 162 Satuan Baru TNI: Peran Militer di Sipil Makin Menguat

Posted on

Kritik terhadap Pembentukan 162 Satuan Baru di TNI

Setara Institute, lembaga penelitian yang fokus pada isu hak asasi manusia dan sektor keamanan, mengkritik pembentukan 162 satuan baru di lingkungan TNI yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan ini disampaikan dalam acara Upacara Gelar Pasukan dan Kehormatan Militer di Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (Pusdiklatpassus) TNI AD di Batujajar, Bandung, Jawa Barat.

Menurut peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, pembentukan satuan-satuan baru tersebut tidak hanya bertentangan dengan pembangunan postur TNI, tetapi juga mempercepat peran militer di ranah sipil. Ia menjelaskan bahwa prajurit yang tergabung dalam batalyon tersebut tidak ditugaskan untuk bertempur, melainkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, mulai dari ketahanan pangan hingga pelayanan kesehatan.

Dari 162 satuan yang dibentuk, termasuk enam Komando Daerah Militer (Kodam), 20 Brigade Teritorial Pembangunan, serta 100 Batalyon Teritorial Pembangunan. Selain itu, jabatan Wakil Panglima TNI kembali dihidupkan setelah selama 25 tahun kosong.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk penguatan militerisme, yaitu orientasi politik dan sosial yang menempatkan militer sebagai institusi dominan dalam kehidupan bernegara dan demokrasi. Dengan demikian, peran militer semakin berkembang di luar bidang pertahanan.

Ikhsan menilai bahwa pembentukan enam Kodam baru mencerminkan kebijakan yang tidak berbasis pada ketentuan Undang-Undang TNI. Menurut Pasal 11 ayat (2), postur TNI harus dibangun sesuai kebijakan pertahanan negara dan menghindari bentuk organisasi yang bisa menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis.

Selain itu, pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan dianggap sebagai ekspansi militer ke ruang sipil dengan bungkus pembangunan dan kesejahteraan. Retorika pembangunan tidak dapat menyembunyikan realitas bahwa militer sedang memperluas peran dan pengaruhnya ke ranah yang bukan wewenangnya.

Menurut Ikhsan, kehadiran batalyon-batalyon non-tempur adalah deviasi terhadap amanat reformasi 1998 yang menegaskan pemisahan militer dari urusan sipil. Hal ini juga menjadi gejala terang arus balik reformasi TNI melalui ketidakpatuhan terhadap batasan operasi militer selain perang (OMSP).

Pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan juga menyebabkan distorsi fungsi pertahanan. Saat dunia tengah memperkuat postur militer berbasis teknologi, kapasitas dan kualitas prajurit, serta alutsista, TNI justru gagal fokus dengan menambah banyak prajurit untuk menjalankan fungsi-fungsi sipil yang sudah dipegang oleh otoritas sipil.

Penambahan 100 batalyon ini juga berpotensi meningkatkan beban anggaran, terutama untuk gaji, infrastruktur, dan pembinaan. Mengingat urgensi penguatan alutsista dan kesejahteraan prajurit, anggaran seharusnya dialokasikan kepada aspek penting tersebut.

Lebih lanjut, Ikhsan menyampaikan bahwa pascapenghapusan ketentuan keputusan dan kebijakan politik negara sebagai basis implementasi OMSP melalui revisi Undang-Undang TNI tahun 2004, pembentukan batalyon pembangunan semakin membuka lebar peran-peran militer di ranah sipil tanpa kontrol legislatif.

Hal ini mengingatkan pada residu Dwifungsi ABRI, di mana kapasitas organisasi besar membuka ruang bagi keterlibatan militer dalam administrasi sipil dan politik. Kondisi ini juga dapat memicu pengerdilan peran lembaga sipil karena peran-peran konvensional otoritas sipil, terutama di daerah, justru diemban oleh batalyon pembangunan.

Setara Institute mendesak Presiden bersama DPR melakukan evaluasi terhadap pembentukan 162 satuan baru TNI, terutama enam Kodam, 20 Brigade Teritorial Pembangunan, dan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan. Evaluasi ini dilakukan terhadap arah dan dasar strategis pembentukan satuan untuk memastikan langkah ini selaras dengan agenda penguatan pertahanan dan postur TNI, serta tidak sekadar memperbesar struktur tanpa peningkatan kapabilitas.

Evaluasi juga perlu dilakukan terhadap dampak hubungan sipil-militer subjektif, guna mencegah penguatan militerisme yang berpotensi mengikis supremasi sipil dan ruang demokrasi. Dengan menegaskan mekanisme pengawasan publik dan parlemen.