Sejarah Persahabatan Indonesia-Rusia Sejak Masa Soekarno

Posted on

Sejarah Persahabatan Indonesia dan Rusia yang Tak Pernah Luntur

Hubungan antara Indonesia dan Rusia tidak hanya berupa hubungan bisnis, tetapi juga persaudaraan yang telah terjalin sejak tahun 1945. Kedekatan ini dianggap sebagai ikatan yang perlu terus dipelihara agar dapat menjaga perdamaian antar kedua negara tanpa adanya pihak yang merusaknya.

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, sejarah hubungan ini dimulai saat Uni Soviet (USSR) memberikan bantuan besar selama masa perjuangan diplomasi Indonesia antara 1945 hingga 1950. Uni Soviet merupakan salah satu negara yang mendukung upaya kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, mereka mendorong forum PBB untuk meminta Belanda menghentikan agresi militer di Bumi Nusantara.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang, Arief Setiawan, menilai bahwa hubungan antara Indonesia dan Uni Soviet semakin kuat ketika masuk masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1956. Saat itu, Uni Soviet membantu Indonesia dalam penyediaan alutsista untuk kepentingan pembebasan Irian Barat serta dalam bidang pendidikan.

Salah satu contoh di bidang pendidikan adalah pada tahun 1960, saat Uni Soviet mengumumkan rencana membuka People’s-Friendship University. Selain itu, Uni Soviet juga membantu pembangunan Stadion Gelora Bung Karno, Rumah Sakit Persahabatan, dan memberikan Tugu Tani sebagai hadiah bagi Indonesia.

Kedekatan sosial budaya antara dua negara ini juga terlihat dari banyaknya lagu Indonesia pada era Soekarno yang diterjemahkan ke bahasa Rusia, seperti “Rayuan Pulau Kelapa” dan “Naik Delman”. Hubungan ini membuat Indonesia dan Uni Soviet dianggap bersaudara, bahkan saat Bung Karno berpidato di Kremlin pada 1956, umat Islam setempat datang berbondong-bondong untuk menyaksikan karena merasa terhubung dengan Indonesia.

Puncak Persahabatan Indonesia dan Rusia

Puncak persahabatan antara Indonesia dan Uni Soviet terjadi antara 1956 hingga 1962, ketika Presiden Soekarno dan pemimpin Uni Soviet saling melakukan kunjungan resmi. Soekarno mengunjungi Moskwa pada 28 Agustus hingga 12 September 1956. Dalam kunjungan tersebut, pada 11 September 1956, Soekarno dan Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Ruslan Abdulgani, menandatangani pernyataan bersama dengan pejabat tinggi Uni Soviet seperti Mikoyan, Voroshilov, Kaganovich, dan Malenkov, serta Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet Gromyko.

Pada Februari 1960, Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet Nikita Khrushchev berkunjung ke Indonesia dan disambut hangat oleh Soekarno. Bahkan, mereka terlihat menikmati sigaret bersama seperti dua sahabat. Kunjungan tersebut menghasilkan kesepakatan yang memperluas kerja sama politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, dan militer, termasuk pencairan bantuan keuangan, pembangunan proyek, dan pasokan peralatan militer dari Uni Soviet ke Indonesia.

Perkembangan Hubungan Diplomasi

Hubungan politik antara Indonesia dan Rusia sempat meredup pada era Presiden Soeharto karena isu komunisme, tetapi aspek sosial budaya tetap terjaga, termasuk pengajaran Bahasa Indonesia di universitas Rusia seperti MGIMO. Hubungan diplomatik kembali dipulihkan dengan kunjungan Presiden Soeharto ke Moskwa pada 1989.

Di jalanan Jakarta, jejak sejarah persahabatan dua negara ini tersimpan. Di seluruh ibu kota Indonesia, landmark publik utamanya bergaya realisme sosialis yang dipelopori oleh seniman Soviet di bawah Stalin. Monumen Selamat Datang, yang dikelilingi oleh mal megah, hotel bintang lima, dan gedung pencakar langit, merupakan sebuah patung yang terinspirasi dari Uni Soviet dan berdiri pada awal 1960-an.

Meski bertahun-tahun berlalu di tengah geopolitik dunia yang kompleks dan tidak menentu, hubungan persahabatan Indonesia dan Rusia masih bertahan. Bahkan, hubungan ini menjadi fokus yang tidak biasa selama beberapa hari kampanye pemilihan federal Australia pada April. Kekhawatiran Australia muncul setelah firma intelijen militer Janes melaporkan bahwa Rusia berusaha mengirim pesawat jarak jauh ke pangkalan angkatan udara di Provinsi Papua, dekat Australia.

Berbeda dengan negara-negara Barat termasuk Australia yang telah menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas invasi skala penuh ke Ukraina pada 2022, Indonesia bersama negara non-blok lainnya masih terus menjalin hubungan dagang dengan Moskwa, membeli senjata dan bahan bakarnya.

Persahabatan yang Berlanjut

“Di pihak Rusia, sudah ada minat yang sangat besar terhadap Indonesia selama bertahun-tahun,” kata Leszek Buszynski, profesor kehormatan di Pusat Studi Strategis dan Pertahanan Universitas Nasional Australia. Moskwa telah terus menerus menjalin hubungan militer dengan Indonesia dan negara lain di kawasan Asia Tenggara selama beberapa dekade.

Namun, hubungan Indonesia dan Rusia tampaknya telah melampaui kepentingan perdagangan senjata dan latihan militer bersama. Hal itu tercermin salah satunya dari Menteri Kebudayaan Indonesia saat ini sekaligus Wakil Ketua Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto, Fadli Zon, yang merupakan seorang Russophile. Fadli Zon meraih gelar sarjana sastra Rusia dari Universitas Indonesia.

Menjelang pemilihan presiden 2019, merujuk pada Prabowo, Fadli Zon mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin kuat seperti Vladimir Putin dari Rusia. “Jika ingin kita bangkit dan menang, Indonesia butuh pemimpin seperti Vladimir Putin: berani, visioner, cerdas, bijaksana,” tandasnya.

Indonesia Bergabung dengan BRICS

Belum lama ini, pada Januari 2025, Indonesia menjadi negara pertama dari Asia Tenggara yang bergabung dengan BRICS, blok dari negara-negara belahan bumi selatan yang didirikan oleh Rusia, Brasil, India, China, dan Afrika Selatan. Kepala program Asia Tenggara di Lowy Institute, Susannah Patton, mengatakan kepada ABC Radio National Breakfast bahwa “wajar” jika Indonesia ingin bergabung dengan BRICS.

“Saya tidak melihat keputusan untuk bergabung dengan BRICS sebagai keputusan untuk berpihak pada China dan Rusia. Di dalam BRICS, terdapat kelompok negara yang sangat luas,” ujarnya, menjelaskan bahwa Indonesia, seperti Brasil dan India, bersikap non-blok alih-alih anti-Barat.

Minat Presiden Prabowo untuk bergabung dengan kelompok ini menunjukkan bahwa ia ingin menjadi pelaku diplomasi yang jauh lebih aktif. Bagi Profesor Buszynski, Indonesia yang lebih tegas dalam urusan global akan menjadi hal yang baik. “Indonesia yang kuat, tidak berpihak, percaya diri, dan tidak mudah terpengaruh oleh musuh potensial, akan menguntungkan kita,” ujarnya.