Santri Literasi Dua Wajah Bersatu

Posted on

Refleksi Hari Santri Nasional

Menyambut Hari Santri Nasional, pada 22 Oktober 2025, perasaan penulis kembali berbunga-bunga. Meskipun penulis bukan berlatar belakang santri yang pernah mondok di pesantren, namun penulis bangga karena berasal dari keluarga santri yaitu istri penulis berlatar belakang santri, Ani Kaimuddin Mahmud, tercatat sebagai santriwati yang berasal dari Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah di ponpes DDI Mangkoso, pada 1988-1995.

Berikutnya, putra bungsu penulis saat ini tercatat sebagai santri Iddadiyah DDI Mangkoso, Farhan Alfarisi Kusuma. Menariknya, karena sebagai jurnalis Free Lance majalah Panji Masyarakat pada 1989-1995, penulis bersyukur karena bisa berinteraksi dengan Pimpinan Pondok Pesantren DDI Mangkoso Anregurutta Prof.Dr.K.H.Muhammad Faried Wadjdedy, L.C.M.A. Awalnya, penulis meliput kunjungan Menteri Penerangan, H.Harmoko ke Pondok Pesantren DDI di Bulu Lampang, Mangkoso, 1991.

Penulis menyaksikan langsung bagaimana kedekatan Gurutta K.H.Faried Wadjedy dengan Tokoh-tokoh Nasional seperti Harmoko yang saat itu, memberi bantuan sejumlah komputer untuk Ponpes DDI Mangkoso. Penulis menginap beberapa hari di kediaman Gurutta Saide (almarhum) atas perpanjangan tangan salah seorang santri yang penulis bina, H.Muhammad Zulfaizin, L.C. beberapa tahun kemudian penulis bertemu Zulfaizin di salah satu Pusat Pembinaan Islam, milik keluarga besar Prof.Dr. Yusril Ihsa Mahendra di Belitung.

Pertemuan berikutnya, penulis tercatat sebagai Koordinator Kecamatan KKN Unhas Angkatan 48 di Tanete Rilau, tepatnya di Kelurahan Lalolang, Kab. Barru. Disinilah pertama kali penulis memeroleh undangan dari Gurutta Prof.Dr.K.H. Faried Wadjedy, M.A. untuk memberi pelatihan jurnalistik santriwati berjumlah ratusan yang akan tamat, 1995.

Terima kasih sahabat Literasi Santri penulis Ustas Achmad Rasyid karena atas jasa beliau yang mendatangi posko KKN kami di Tanete Rilau dan mengundang penulis berbicara di depan santriwati angkatan 1995. Efeknya penulis bertemu jodoh dengan sang pujaan hati penulis, santriwati Ponpes DDI Mangkoso, Barru.

Benarlah kata Montesque, berikan saya Cinta, Sahabat dan Buku, dunia ini akan saya kuasai. Ungkapan Montesque, penulis menggambarkannya bahwa dengan semangat ingin maju dan berbuat yang lebih baik, cinta menjadi daya pelecut. Pemberi energi berkelimpahan untuk berkarya.

Dengan sahabat, penulis telah berhasil bertemu dengan santri Gurutta K.H,.Faried Wadjedy melalui taman-taman ilmu lewat Pelatihan Jurnalistik yang digelar DDI Mangkoso. Berikutnya, Buku adalah cermin dan watak bangsa yang maju. Hanya dengan budaya baca yang tinggi terhadap sebuah buku, maka bangsa ini menjadi bangsa yang besar.

Dengan buku, maka kita akan menguasai dunia dan dengan menulis buku, kita akan dikenang Dunia. Adalah benar kata Guru penulis, almarhum K.H.abdurahman Arroisi (Pimpinan Redaksi Majalah Amanah Group Kartini) mengajarkan kepada penulis, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali yang ditulis dalam buku. Maka penulis kemudian memutuskan diri memilih literasi membaca dan menulis sebagai Jalan Hidup.

Pesantren: Rumah Kehidupan Santri

Nah, pesantren adalah sebuah rumah kehidupan, di dalamnya santri tumbuh dan berkembang. Jangan pernah menyamakan pesantren dengan sekolah, karena di pesantren santri tidak hanya menulis dan membaca. Tapi santri di pesantren mencuci dan menyeterika sendiri. Jangan pernah samakan pesantren dan madrasah karena di pesantren santri tidak hanya belajar agama, tapi santri belajar hidup bersama.

Literasi Santri dan “One Santri, One Book”

Tidak sulit mendorong santri membaca, apalagi menulis. Selain santri memahami membaca sebagai perintah wajib, membaca bagi santri adalah kegiatan berjibaku setiap waktu. Nah, kalau kemampuan kebiasaan membaca (habit) santri didorong agar great kemampuan membacanya naik kelas, maka santri perlu didorong terus menerus menulis.

Dan, kemampuan menulis yang tinggi dan dimiliki para santri, berikutnya menjadi investasi literasi terutama membentuk ekosistem santri yang gemar menulis. Penulis, meminjam istilah Anregurutta Prof.K.H.Ali Yafie Ulama kesohor dan penulis buku “Menggagas Fikih Sosial” menegaskan Membacalah, karena syariat pertama itu bukan shalat, tapi membaca Iqra.

Di akhirat, kata Gurutta K.H.Ali Yafie, perintah membaca Iqra Kitabaka, baca apa saja, tapi jangan ambil semua. Dan, jika saja para santri memiliki budaya menulis yang tinggi, maka akan menjadi pelecut dan jalan keluar di tengah kurangnya akses buku-buku bermutu berbasis Islam.

Salah satu upaya dengan mendorong dan menggugah santri agar menulis buku melalui Gerakan Santri Literasi yang bertujuan berkelanjutan “One Santri, One Book”.

Mengapa Santri Harus Menulis?

Ketika mesin cetak ditemukan Johannes Gutenberg pada abad ke-15, sebuah perubahan ditandai dengan revolusi industri. Lahirnya mesin cetak ala Gutenberg membuka tabir hadirnya percetakan buku dan industri grafika dalam skala memassal. Tradisi literasi santri yang semula hanya kegiatan elitis di kalangan tertentu, borjuis dan cendekia, karena hadirnya mesin cetak industri literasi berupa buku bisa hadir di mana-mana.

Budaya menulis para santri ulama jauh sebelum Gutenberg menemukan mesin cetak, intelektual Muslim seperti Ibnu Sina, Alfarabi, Ibnu Khaldun dan Ibnu Batutah telah menulis sejumlah kitab atau buku-buku. Ibnu Sina menulis 276 kitab di antaranya”A-ssyifa”. Demikian pula Ibnu Batutah, seorang pelancong Muslim yang telah mengelilingi 44 Negara dengan jarak tempuh 120.070 kilometer dengan waktu 29 tahun, menulis buku “ Rihlah Ibnu Batutah”.

Karena itu, menulis buku membutuhkan pengorbanan termasuk materi. Bukankah modal utama menulis haruslah kaya dengan membaca buku? Dan, untuk mendapatkan buku adalah dengan membelinya! Berarti butuh modal. Sebut saja Muhammad Natsir dan Abdullah Said, kedua tokoh dan ulama Indonesia dikenal rajin membeli buku. Saat bersekolah, uang beasiswa yang didapatkannya, habis hanya membeli buku.

Berikutnya, menulis buku butuh kesabaran dan ketekunan. Apa sebab? Karena butuh waktu panjang, lama hanya karena menyelesaikan sebuah naskah buku. Misal, Buya Hamka butuh waktu bertahun-tahun hanya karena menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, Ahmad Warson Munawwir merampungkan Kamus Arab Indonesia.

Pada akhirnya, buku bisa kita tulis dalam situasi kapanpun. Hanya saja, dibutuhkan kemerdekaan waktu dan sebenarnya tidak ada alasan tidak menulis. Pertanyaannya, apakah kita bisa menjinakkan waktu dan mengasah kemerdekaan berpikir, menulis kita? Kuncinya, tetaplah menulis kapan dan di manapun. Simak, para ulama terdahulu berlomba menulis buku, Buya Hamka “Di Bawah Lindungan Kabah”, Bey Arifin “Samudera Alfatiha”, Zakiah Darajat” Ilmu Jiwa Agama”, K.H.Ali Yafei “Fiqhi Sosial”. Dan ulama-ulama Sulsel juga telah menulis, sebut saja, K.H.Abdurahman Ambo Dale, menulis lagu DDI, Prof.Dr.K.H.Nasaruddin Umar, Tasauf, K.H.Amirullah Amri, “Dari Pesantren ke Baitullah”, K.H.Masrur Makmur Latanro “Fiqh Politik Muslim Bali” dan “Balancing of Life”. Prof.Dr.K.H. Muhammad Faried Wadjedy, M.A.” Ronce Mutiara”.

Darurat Buku Indonesia

Kalau saja setiap santri menulis buku bersama para ulama kita, akan menjadi solusi kurangnya akses buku-buku bermutu di Indonesia. Adapun buku baru terbit di Indonesia pertahun 28.512.996 buku. Sementara jumlah penduduk Indonesia 273, 8 juta, maka rasionya 1:9 yaitu satu Buku dibaca 90 orang. Sementara Unesco menetapkannya 1:3 yaitu satu judul buku baru dibaca 3 orang. Indonesia butuh kekurangan buku 792.887.005 buku. Sementara jumlah karya cetak buku disetor ke Perpustakaan Nasional 2021 yaitu 2.007.744 eksemplar dengan jumlah Penerbit 1.328 dan Non Penerbit Ikapi 109. Yang aktif memproduksi buku 711, persentasinya Jawa 80 Persen menerbitkan buku 10 hingga 50 judul pertahun. Adapun jumlah perpustakaan di Indonesia yaitu 614.610 unit dan 11, 466 unit sesuai Standar Nasional.

Kita butuh santri yang piawai menulis buku. Caranya, setiap santri menyediakan waktu satu jam setiap hari dengan rincian membaca buku 25 menit dan menulis 35 menit, setiap hari menulis dua halaman. Maka sebulan akan lahir 60 halaman tulisan dari setiap santri, ribuan bahkan ratusan ribu tulisan akan lahir dari santri jika saja mereka komitmen, punya tekad kuat dan berjibaku dengan waktu 60 menit membaca plus menulis.

Inilah yang disebut literasi bermula dari Diksi dan berakhir pada Aksi. Bukan sebaliknya hanya pseudo literasi. Sebuah gerakan mengajak orang lain membaca, tapi dirinya sendiri tak melakukannya. Bukankah kunci membangun budaya membaca adalah keteladanan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *