Polemik Tunjangan Perumahan Anggota DPR RI
Polemik terkait tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan untuk anggota DPR RI kembali mencuat ke permukaan dan menjadi topik perbincangan publik. Kebijakan ini telah berlaku sejak Oktober 2024 lalu, namun kini kembali menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Pihak DPR menganggap bahwa besaran tunjangan tersebut wajar dan masuk akal. Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menjelaskan bahwa tunjangan perumahan diberikan sebagai pengganti rumah dinas yang dahulu disediakan oleh negara. Menurutnya, jumlah Rp 50 juta per bulan sudah sebanding dengan rata-rata harga sewa rumah di kawasan Senayan, Jakarta.
“Saya kira masuk akal lah kalau Rp 50 juta per bulan. Itu untuk anggota, kalau pimpinan enggak dapat karena dapat rumah dinas,” ujar Adies dalam pernyataannya.
Adies juga menyampaikan bahwa rata-rata biaya sewa kos di sekitar Senayan hanya sekitar Rp 3 juta per bulan. Namun, para anggota DPR membutuhkan rumah dengan fasilitas penunjang lain yang lebih lengkap dan tidak bisa dipenuhi oleh indekos. Akibatnya, banyak anggota DPR yang lebih memilih menyewa rumah daripada tinggal di indekos.
“Kalau daerah sini (Senayan) Rp 40 sampai Rp 50 jutaan juga (besaran sewa rumahnya),” tambah dia.
Selain itu, dalam besaran tunjangan perumahan juga sudah termasuk biaya jasa sopir dan pembantu rumah tangga. Pernyataan ini sekaligus membantah narasi yang menyebut bahwa anggota DPR menerima gaji pokok bulanan hingga Rp 100 juta.
Alasan Efisiensi
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah juga setuju dengan pendapat Adies. Ia menegaskan bahwa pemberian tunjangan perumahan lebih efisien dibandingkan biaya perawatan rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan.
Menurut Said, perawatan rumah jabatan anggota (RJA) menelan biaya hingga ratusan miliar rupiah setiap tahun, mulai dari perbaikan fisik, pemeliharaan taman, hingga gaji satpam. “Lebih baik tunjangan perumahan daripada ratusan miliar setiap tahun untuk memperbaiki RJA,” kata Said.
Ia menambahkan bahwa RJA akan dikembalikan ke negara, sehingga negara yang merawat atau bagi eselon-eselon di pemerintahan yang belum dapat perumahan. Said juga mencontohkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bahkan lebih dulu menerima tunjangan perumahan.
“DPD itu tunjangan perumahannya sudah duluan dapat. Justru sejak awal, karena memang RJA itu sudah tidak punya daya dukung terhadap kerja-kerja DPR. Maka DPR kemudian mengambil tunjangan perumahan,” ujar Said.
Kritik dari Masyarakat Sipil
Namun, kebijakan ini menuai kritik keras dari kalangan masyarakat sipil. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa tunjangan Rp 50 juta per bulan menunjukkan DPR tidak memiliki sense of crisis.
Menurutnya, pemberian tunjangan besar kepada anggota dewan dikeluarkan justru di tengah situasi ekonomi rakyat yang sulit dan kondisi keuangan negara yang terbatas. “Kalau DPR punya sense of crisis, memilih prihatin dengan menggunakan fasilitas rumah dinas yang masih bagus akan menjadi pilihan,” ujar Lucius.
Dia juga menyoroti dasar perhitungan angka Rp 50 juta yang dinilai tidak jelas, serta lebih mencerminkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan rakyat. “Dasar perhitungannya enggak jelas. Dari mana memperoleh angka Rp 50 juta itu, kalau sebenarnya yang digunakan adalah common sense saja,” kata Lucius.
Lucius menyebut bahwa penambahan tunjangan-tunjangan yang diberikan saat ini tidak sebanding dengan kinerja DPR periode 2024–2029. Dari 42 RUU prioritas tahun 2025, baru satu RUU yang disahkan, yakni revisi UU TNI.
“Penambahan uang dan jenis tunjangan per anggota tidak berbanding lurus dengan kinerja mereka. Uang dengan jumlah yang sangat lebih dari cukup itu, seharusnya menghapus semua hambatan bagi anggota DPR untuk bekerja maksimal,” ujar Lucius.
Sayangnya, kenaikan tunjangan itu bukan untuk mendongkrak kinerja. Tunjangan yang terus bertambah ternyata memanjakan anggota DPR. Lucius menegaskan bahwa tunjangan semestinya diberikan sebagai bentuk apresiasi atas capaian kinerja. Dalam kasus DPR, pemberian tunjangan justru menghilangkan peluang munculnya apresiasi publik. “Di DPR, kenaikan tunjangan justru menutup peluang hadirnya apresiasi atas kinerja mereka,” ucap dia.