Review Film The King of Kings, Kisah Epik tentang Hidup Kristus

Posted on

The King of Kings
(2025) akhirnya tayang di bioskop-bioskop Indonesia. Dipimpin pengarahannya oleh Seong Ho Jang, film tersebut adalah versi layar lebar dari sebuah novel.
Kehidupan Tuhan Yesus
yang dikarang oleh Charles Dickens untuk putranya. Sesuai dengan judulnya, cerita ini menceritakan tentang kehidupan Yesus Kristus.

Bagaimana sebenarnya mutu dari film tersebut? Apa sajakah keunggulannya serta kelemahannya? Ayo kita bahas lebih lanjut!

1. Berikan cerita penuh introspeksi mengenai kehidupan Yesus

Sebaliknya dari mengulang cerita tentang Yesus dengan cara yang monoton,
The King of Kings
Memilih sudut pandang yang lebih dekat dan reflektif. Dialog dalam karyanya terisi dengan puisi, penuh makna namun masih dapat dimengerti. Segalanya dipersembahkan melalui lensa seorang anak kecil.

Movie ini disusun dengan ritme yang kencang namun tetap padat serta memiliki tampilan visual yang dipadati detil seni. Pengambilan gambarnya luar biasa, pencahayanya sangat berkesan, dan suasana rohaninya begitu nyata. Ada beberapa scene yang membuat kita mempertanyakan tentang cinta, ampun, dan daya tarik keyakinan.

2. Dipenuhi oleh para pemeran terkemuka dari Hollywood

Satu kekuatan besar dari film ini terletak pada barisan narator senior asal Hollywood. Kenneth Branagh, Oscar Isaac, Pierce Brosnan, Ben Kingsley, dan juga Mark Hamill berpartisipasi dalam memberikan nyawa kepada tokoh-tokoh seperti Charles Dickens, Yesus, Herodes, serta Pontius Pilatus.

Pemerannya sepertinya sangat menyukai peran masing-masing, terlebih lagi Mark Hamill yang melalui nada bicaranya yang khas menghidupkan karakter Raja Herodes secara berbeda. Kehadiran mereka meningkatkan tingkat kekayaan dalam film tersebut, walaupun sebagian besar pemeran mungkin jauh lebih populer di kalangan orang dewasa.

3. Tidak begitu menarik bagi penonton dewasa

Walau secara teknis kuat,
The King of Kings
terlihat lebih difokuskan pada audiens anak-anak daripada pemirsa dewasa. Gaya penggambarannya mirip seperti film kartun khas Disney-Pixar, di mana karakter memiliki kepala besar dan badan kecil yang kadang tampak sedikit tidak sesuai.
natural
.

Gaya berceritanya tidak cukup menarik untuk orang dewasa meskipun ditujukan kepada anak-anak. Walter, si putra, terkadang begitu hyper sehingga bisa menjadi menyebalkan. Tidak ada ruang untuk pengembangan karakter yang mendalam atau simbolisme teologis seperti halnya apa yang diharapkan oleh penonton dewasa.

Meski begitu,
The King of Kings
tetap layak ditonton. Dengan durasi singkat, hanya 1 jam 41 menit, film ini bisa jadi pintu awal bagi diskusi spiritual dalam lingkungan keluarga.