Peraturan Baru Asuransi Kesehatan Dipercepat, Tapi Masih Ada Tantangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mempersiapkan Peraturan OJK (POJK) terkait penguatan ekosistem asuransi kesehatan. Langkah ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan OJK pada 30 Juni 2025. Dalam pertemuan tersebut, disimpulkan bahwa diperlukan penyusunan POJK yang bertujuan untuk memperkuat pengaturan di sektor asuransi kesehatan.
Salah satu peraturan yang awalnya direncanakan adalah Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Namun, ketentuan dalam SEOJK tersebut yang seharusnya mulai berlaku pada 1 Januari 2026 resmi ditunda. Hal ini menunjukkan bahwa OJK masih melakukan evaluasi dan diskusi lebih lanjut mengenai peraturan yang akan diterapkan.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon, menyatakan bahwa OJK selalu melibatkan pihak asuransi dalam proses penyusunan peraturan. Menurutnya, tidak hanya terkait asuransi kesehatan atau mekanisme co-payment, tetapi juga dalam berbagai isu lainnya. Proses ini biasanya dimulai dari diskusi awal hingga akhirnya dirumuskan menjadi aturan yang jelas.
Meskipun demikian, Budi mengungkapkan bahwa tidak semua masukan dari pihak asuransi akan langsung tercantum dalam POJK atau SEOJK. Namun, secara umum, pihak perasuransian selalu dilibatkan dalam penyusunan regulasi oleh OJK.
Terkait mekanisme co-payment, Budi menyebut bahwa AAJI sudah terlibat dalam diskusi. Meski mendukung adanya co-payment, kebijakan ini sementara waktu ditunda. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan lebih lanjut agar masyarakat dapat memahami manfaat dari co-payment tersebut.
Budi juga menjelaskan bahwa saat ini AAJI belum mengetahui isi detail dari POJK pengganti SEOJK 7/2025 yang sedang disusun oleh OJK. Namun, ia memastikan bahwa pihaknya tetap terlibat dalam diskusi mengenai co-payment dan beberapa hal lain yang diatur dalam SEOJK.
Pentingnya Proteksi Kesehatan
Menurut Budi, masyarakat Indonesia membutuhkan proteksi kesehatan yang cukup luas. Ia menyatakan bahwa klaim kesehatan terus meningkat, yang pada akhirnya akan memengaruhi premi asuransi. Jika premi terlalu tinggi, maka akan sulit bagi masyarakat untuk membelinya. Akibatnya, opsi yang tersisa adalah layanan kesehatan yang disediakan oleh negara, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan.
Budi khawatir jika hal ini terjadi, maka akan terjadi defisit dalam sistem kesehatan nasional. Meskipun saat ini belum terjadi, ia menilai penting untuk segera mengambil langkah-langkah pencegahan agar potensi defisit tidak semakin besar di masa depan.
Peran Asuransi Swasta dalam Sistem Kesehatan Nasional
Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, menjelaskan bahwa penyusunan POJK baru dilakukan sebagai respons terhadap kebutuhan yang ada. Ia menekankan bahwa dukungan dari DPR bukan hanya bersifat normatif, tetapi juga ingin memperluas cakupan pengaturan hingga mencakup seluruh aspek ekosistem industri kesehatan.
Dari data Kementerian Kesehatan, belanja kesehatan nasional pada tahun 2023–2025 mencapai sekitar Rp 615 triliun. Namun, kontribusi dari asuransi kesehatan swasta hanya sekitar 5% atau Rp 30 triliun pada 2023. Ogi berharap kontribusi ini bisa meningkat di masa depan.
Ia menambahkan bahwa OJK ingin peran asuransi kesehatan swasta tidak lagi menjadi pelengkap, tetapi menjadi bagian strategis dalam pembiayaan kesehatan nasional. POJK yang sedang disusun akan melalui mekanisme rule making rule, yaitu mengombinasikan ketentuan yang berlaku di OJK dengan masukan dari DPR sebelum diundangkan.
Regulasi ini dirancang untuk memperkuat landasan hukum dan memperluas cakupan pengaturan dalam penyelenggaraan asuransi kesehatan serta melibatkan stakeholder lainnya.
