Putin Tak Takut Hadapi Ultimatum Trump soal Perang Ukraina

Posted on

Putin Tidak Akan Menyerah pada Ultimatum Trump

Presiden Rusia Vladimir Putin diperkirakan tidak akan menyerah terhadap ultimatum yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai konflik di Ukraina. Meskipun tenggat waktu sanksi baru dari AS telah berakhir, Putin tetap mempertahankan pendiriannya untuk mencapai tujuan militer utamanya, yaitu merebut sepenuhnya empat wilayah Ukraina: Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson.

Trump sebelumnya mengancam akan memberlakukan sanksi tambahan terhadap Rusia serta menerapkan tarif 100 persen terhadap negara-negara yang membeli minyak Rusia, termasuk China dan India, jika Putin tidak segera menyetujui gencatan senjata. Meski risiko hubungan dengan Washington semakin tinggi, Putin dianggap lebih mengutamakan ambisi militernya daripada kekhawatiran politik.

Menurut James Rodgers, penulis buku The Return of Russia, jika Putin berhasil menduduki seluruh wilayah yang diklaimnya, ia bisa menyatakan bahwa perang di Ukraina telah mencapai tujuannya. Dua dari tiga sumber yang dekat dengan Kremlin menyebutkan bahwa Putin tidak ingin membuat Trump marah, tetapi ia melihat perang ini sebagai bagian dari misi strategis Rusia.

Negosiasi Tak Menghasilkan Kemajuan Berarti

Sejak Mei lalu, negosiator Rusia dan Ukraina telah bertemu dalam tiga putaran pembicaraan. Namun, menurut sumber Reuters, perundingan itu belum menghasilkan kemajuan signifikan dan hanya membahas isu-isu kemanusiaan seperti pertukaran tahanan. Meski demikian, Kremlin menggambarkan perundingan tersebut sebagai proses positif. Putin sendiri menyampaikan hal tersebut dalam pernyataan publiknya pekan lalu.

Namun, tuntutan Moskwa dinilai sulit diterima oleh Kyiv. Rusia meminta Ukraina menarik seluruh pasukan dari empat wilayah tersebut, menetapkan status netral, dan membatasi kekuatan militer negaranya. Ukraina telah menolak seluruh tuntutan itu. Sumber pertama juga mengungkapkan bahwa proses perundingan lebih ditujukan untuk menunjukkan kepada Trump bahwa Putin tidak menolak perdamaian.

Peluang Diplomasi Masih Terbuka

Meski Putin tetap pada pendiriannya, peluang diplomatik masih terbuka. Utusan khusus Trump, Steve Witkoff, dijadwalkan berkunjung ke Rusia minggu ini. Kunjungan ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Trump dan Moskwa, termasuk soal risiko perang nuklir.

Pada awal pekan ini, Rusia menyatakan tidak lagi terikat dengan moratorium penggunaan rudal nuklir jarak pendek dan menengah. Kremlin menolak berkomentar atas laporan tersebut. Ketiga sumber Reuters yang diwawancarai meminta identitasnya dirahasiakan karena sensitivitas isu yang dibahas.

Ketegangan Antara Trump dan Putin

Trump, yang sebelumnya dikenal memuji Putin dan membuka peluang kerja sama ekonomi, kini mulai menunjukkan ketidaksabaran terhadap Presiden Rusia. Ia bahkan menyebut serangan udara Rusia terhadap Kyiv dan kota-kota lain di Ukraina sebagai tindakan yang sangat buruk. Kremlin mengatakan telah mencatat pernyataan Trump, tetapi enggan memberikan tanggapan resmi.

Perdana Menteri Ukraina Yulia Svyrydenko, dalam pernyataan pekan lalu, menyerukan respons global berupa “tekanan maksimum” terhadap Moskwa. Seruan itu muncul setelah serangan udara paling mematikan di Kyiv tahun ini menewaskan 31 orang, termasuk lima anak-anak. “Presiden Trump ingin menghentikan pembunuhan. Itu sebabnya dia menjual senjata buatan Amerika kepada anggota NATO dan mengancam Putin dengan tarif dan sanksi ketat jika tidak ada gencatan senjata,” kata juru bicara Gedung Putih, Anna Kelly.

Pasukan Rusia Terus Maju

Sumber pertama menyebutkan bahwa secara pribadi, Putin masih berharap dapat memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Namun, kondisi di medan perang saat ini membuatnya belum siap menghentikan operasi militer. “Dengan pasukan Rusia yang terus maju dan Ukraina yang semakin tertekan, Putin tidak melihat ini sebagai momen yang tepat untuk mengakhiri perang,” ujar sumber tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa militer dan rakyat Rusia akan kesulitan menerima keputusan untuk menghentikan perang saat ini. Rodgers menyebut bahwa Putin telah menanamkan reputasi dan warisan politiknya dalam konflik Ukraina. “Ia melihat dirinya sebagai bagian dari tradisi Rusia yang melawan tekanan dari Barat demi kepentingan negaranya,” katanya.

Keuntungan Rusia di Medan Perang

Sumber kedua mengatakan bahwa meskipun Putin menghargai hubungan dengan Trump, keputusan untuk menghentikan perang tidak semata didasarkan pada tekanan dari pemimpin AS tersebut. “Putin hanya memiliki satu prioritas utama. Ia tidak bisa menghentikan perang hanya karena Trump menginginkannya,” ujar sumber itu.

Sumber ketiga, yang juga memahami dinamika internal Kremlin, mengatakan bahwa Rusia tengah melihat peluang strategis. Selama serangan musim panas ini, pasukan Moskwa mencatat beberapa kemajuan di berbagai titik. Menurut Black Bird Group, sebuah lembaga analisis militer berbasis di Finlandia, Ukraina kehilangan sekitar 502 kilometer persegi wilayah pada Juli 2025. Jika dihitung secara keseluruhan, Rusia telah menguasai sekitar 20 persen wilayah Ukraina.

Staf Umum militer Rusia juga meyakinkan Putin bahwa garis pertahanan Ukraina kemungkinan akan runtuh dalam dua hingga tiga bulan ke depan. Namun, laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington pada Juni lalu mencatat bahwa perolehan Rusia sejak awal 2024 hanya mencakup 5.000 kilometer persegi, kurang dari 1 persen wilayah Ukraina.

Militer Ukraina dan negara-negara Barat mengakui bahwa Rusia memang mencatat kemajuan. Akan tetapi, kemajuan itu berlangsung lambat dan menelan banyak korban jiwa. Sejumlah blogger militer Rusia menyatakan bahwa medan yang padat dan kondisi urban di beberapa wilayah telah memperlambat laju pasukan. Meski demikian, mereka menilai bahwa wilayah lain bisa direbut dengan lebih cepat dalam waktu dekat.