Kebijakan dan Gaya Komunikasi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Nama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kini menjadi perhatian publik. Baru sebulan setelah dilantik, nama Purbaya mulai trending di media sosial. Purbaya dilantik sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto pada tanggal 8 September 2025 di Istana Negara, Jakarta. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Purbaya mendapatkan dukungan masyarakat dan kini menjadi idola baru.
Di balik kepopulerannya, Purbaya dinilai memelihara buzzer. Buzzer adalah individu atau sekelompok orang yang bisa juga berupa akun otomatis/bot) yang bekerja secara terorganisir, seringkali dibayar, untuk menyebarkan (mendengungkan) pesan, narasi, atau opini tertentu secara masif dan berulang-ulang di platform media sosial. Tujuan utama dari aktivitas buzzer adalah:
- Mempengaruhi opini publik: menciptakan kesan bahwa suatu pandangan, produk, atau tokoh memiliki dukungan luas di masyarakat, atau sebaliknya, menciptakan narasi negatif terhadap lawan/kompetitor.
- Menciptakan trending topic (Buzz): membuat isu atau pesan tertentu menjadi populer dan banyak diperbincangkan dalam waktu singkat.
- Promosi (Komersial): digunakan oleh brand atau perusahaan untuk mempromosikan produk, meningkatkan brand awareness, dan mendorong penjualan.
- Propaganda (Politik): digunakan dalam konteks politik untuk membangun citra positif kandidat, menyerang lawan politik, atau menyebarkan pesan kampanye.
Diduga ada peran buzzer-buzzer di balik popularitas Purbaya. Hal ini disampaikan Achmad Nur Hidayat, Analis kebijakan publik UPN Veteran Jakarta dikutip dari tayangan TVOne pada Minggu (27/10/2025). Menurut Achmad, gaya koboi seperti Purbaya bisa jadi karena memang apa adanya, namun juga bisa didesain tidak apa adanya. “Dan kalau selama ini kita melihat, awalnya itu memang kelihatan natural, ya. Tapi kalau saya sendiri melihatnya makin ke sini itu seperti ada buzzer yang bermain begitu,” katanya.
Menurutnya, buzzer-buzzer yang bermain ini kemudian membuat sesuatu yang positif. Padahal, lanjut Achmad kalau dia melihat, gebrakan Purbaya hampir relatif hanya verbal, tidak ada sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya. Menurut Achmad, masalah ekonomi itu riil di masyarakat. “Ketika Pak Purbaya menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, apakah sudah ada pertumbuhan tinggi yang meningkat yang signifikan? Dan apakah kemudian masyarakat memiliki daya beli yang tinggi? Apakah juga masyarakat memiliki pekerjaan? Nah, ini semua kan enggak bisa dijawab dengan retorika Pak Purbaya. Ini kan harus riil kelihatan,” sambungnya.
Dikatakan Achmad, Purbaya harus membuktikan retorikanya dengan indikator-indikator ekonomi yang objektif. Misalkan, ketika Rp200 triliun dikucurkan ke perbankan dengan niat suku bunga perbankan akan turun, harus bisa dirasakan masyarakat. Disinggung tentang masyarakat yang kini menyukai gaya ceplas-ceplos Purbaya, menurut Achmad hal itu wajar, karena sesuatu yang unik akan menjadi pusat perhatian. Namun, Achmad mengingatkan bahwa menyenangkan rakyat belum tentu dirasakan oleh rakyat.
“Makanya saya kira, kebijakan yang menyentuh itu adalah yang sifatnya riil, ya, dirasakan. Kalau yang sekarang ini kan belum riil sebetulnya, masih menggunakan sinyal-sinyal atau instrumen antara. Memberikan dana kepada perbankan ini kan belum riil. Kemudian mengurangi belanja di daerah dan belanja di kementerian juga tidak riil,” katanya.
Achmad justru melihat Purbaya saat ini seperti setengah RI 1. “Kita gak pernah melihat menteri-menteri yang lain ada yang mendatangi. Tapi banyak juga yang mendatangi Pak Purbaya ini dalam arti, ‘Tolong anggarannya jangan dihapus, Pak.’ Ya kan BGN juga komentar juga kemudian jadi kontroversi. Sampai dikomentari oleh menteri yang lain. Jadi ini ada satu kegaduhan tanda kutip di antara kabinet kita juga dengan pernyataan-pernyataan Pak Purbaya. Kenapa? Karena mereka khawatir anggarannya diambil, begitu,” katanya.
Menurut Achmad hal ini bagus agar kementerian yang lain bergerak dalam penyerapan anggaran. “Meskipun ini tidak cukup bagus, ya. Diserap bukan berarti berkualitas. Oke. Selalu ada positif dan negatifnya,” tukasnya.
Di acara yang sama, Guru besar komunikasi politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Karim Suryadi, mengurai analisis serupa. Prof Karim menyoroti gaya kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang belakangan ini menyita perhatian publik. Ia menyoroti gaya keterbukaan dan komunikasi blak-blakan Purbaya dalam mengungkap berbagai isu fiskal ke publik.
Selain itu, guru besar itu juga mewanti-wanti kepada Menkeu Purbaya soal gaya komunikasinya tersebut. Sikapnya, dinilai positif oleh sebagian besar kalangan yang mengharapkan transparansi kebijakan keuangan negara. Namun, ada juga sisi negatifnya yang perlu diwaspadai oleh Purbaya. Menurut Karim, gaya khas Purbaya itu justru bisa berpotensi mengganggu stabilitas pasar maupun koordinasi antar pejabat. Untuk itu, ia juga memerlukan ‘rem’ dari gaya komunikasi ‘koboinya’.
“Yang pertama, sinyal disonansi, karena keterbukaan, kejujuran, keberanian, Menteri Purbaya ini bisa saja menyentuh sisi-sisi negatif yang bisa memancing ketegangan pasar maupun ketegangan dari pejaba lain. Soal Whoosh misalnya, soal dana pemda yang mengendap contoh lain. Ini kan ada riak. jangan sampai riak2 itu menggangtu stabilitas pasar,” ujar Karim seperti dikutip dari TV One pada Minggu (26/10/2025).
Purbaya juga dinilai merupakan bagian dari orkestrasi pemerintahan Prabowo Subianto yang membutuhkan keseimbangan politik. Apabila Purbaya terlalu maju dalam membuat gebrakan dapat memberi kesan ada ketegangan di internal pemerintahan Prabowo. “Yang kedua, jangan lupa karena menteri ini bagian dari orkestrasi pemerintahan Prabowo, maka jangan sampai terlalu maju atau jangan sampai ada kesan bahwa tidak ada koordinasi sehingga menabrak satu sama lain,” lanjutnya.
Selain itu, Purbaya harus hati-hati dengan komunikasinya kepada publik. Sebab, terkadang publik tidak siap dalam memaknai apa yang disampaikan pejabat, apalagi isu fiskal. “Yang ketiga, tak kalah penting adalah, kita tahu keberanian itu sangat penting apa lagi mengungkap sesuatu yang selama ini tersembunyi. Dan kita tahu dunia fiskal ekonomi keuangan itu dunia yang dingin, kaku dan berjarak. Dengan dibuka ini, kadang- kadang publik tidak siap apalagi dalam sistem politik di Indonesia yang sangat rentan dengan isu-isu ini,” pungkasnya.
Kendati demikian, Karim tetap memuji gaya komunikasi Purbaya yang ceplas-ceplos alias transparan. Hal itu bisa membawa semangat positif untuk pemerintah. “Maka menurut saya, sisi komunikasi publiknya, dimensi politik dari komunikasi publiknya harus diteruskan, kejujurannya, keterbukannya harus diteruskan. Yang perlu dijaga adalah dimensi fiskalnya, dimensi teknis dari fiskalnya, jangan sampai keterbukaan ini menabrak poin-poin yang harus dijaga. Kejujuran yang dibingkai dengan strategi,” pungkasnya.
Optimisme Purbaya
Purbaya sebelumnya menyampaikan optimismenya bahwa pertumbuhan konsumsi masyarakat pada kuartal IV-2025 akan menembus di atas 5,5 persen, lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat 5,12 persen pada kuartal II-2025. Optimisme itu, kata Purbaya, didukung oleh kebijakan pemerintah yang gencar memberikan insentif fiskal untuk menjaga momentum ekonomi, salah satunya yakni melalui penempatan dana sebesar Rp200 triliun ke bank Himbara, guna untuk memperkuat likuiditas dan mendorong pembiayaan sektor riil.
“Data retail sales BI mulai naik di bulan terakhir ini, di September. Karena sebagian dampak dari uang yang saya gelontorkan mulai terasa di sistem. Saya pikir Oktober, November, Desember akan lebih terlihat dampaknya di ekonomi,” papar Purbaya.
Purbaya juga menegaskan soal kesiapannya menambah dana likuiditas bila diperlukan. Pemerintah pun menggelontorkan ragam insentif untuk mendorong daya beli masyarakat, di mana tambahan anggaran tersebut berasal dari pos yang tidak terserap sepenuhnya. Sebagian dana kemudian dialihkan untuk memperpanjang program bantuan, yang semula direncanakan hanya berlangsung dua bulan menjadi tiga bulan. Selain itu, bantuan kini juga mencakup kelompok masyarakat di desil 3 dan 4, yang dinilai masih rentan namun sebelumnya belum menerima dukungan dari pemerintah.


