Petani Indonesia: Masa Depan Bangsa

Posted on

Pertanian, Sektor yang Sering Terlupakan Tapi Sangat Penting

Di tengah percepatan pertumbuhan ekonomi digital dan industrialisasi, satu sektor sering kali terabaikan meskipun justru menunjukkan ketangguhan saat menghadapi krisis: pertanian. Saat wabah virus Corona mengguncang berbagai sektor perekonomian, pertanian justru menjadi penopang utama stabilitas. Ia memastikan ketersediaan pangan, menyerap tenaga kerja yang terkena PHK, serta memberikan dukungan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 28% tenaga kerja di Indonesia masih bergantung pada sektor ini. Di banyak daerah, kontribusi pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tetap signifikan.

Namun ironisnya, peran penting ini tidak diiringi dengan perhatian yang layak. Narasi pembangunan nasional lebih condong ke industri dan ekonomi digital, seolah-olah pertanian hanya relevan untuk masa lalu. Pemerintah daerah sibuk membangun mal dan jalan tol, sedangkan lahan pertanian produktif terus menyusut. Di banyak kota kecil, lahan pertanian perlahan berubah menjadi kompleks perumahan.

Jika pola ini terus berlanjut, kita bukan hanya kehilangan petani, tapi juga masa depan bangsa.

Petani Milenial: Mengapa Anak Muda Masih Enggan Terjun ke Pertanian?

Krisis terbesar dalam sektor pertanian saat ini bukan hanya soal produktivitas, tapi juga regenerasi. Mayoritas petani Indonesia kini berusia di atas 50 tahun. Anak muda jarang sekali yang bercita-cita menjadi petani. Bertani dianggap sebagai pekerjaan yang kotor, melelahkan, penuh ketidakpastian, dan yang paling penting, tidak sejahtera. Dalam budaya populer, petani sering digambarkan dengan wajah letih dan nasib pasrah, bukan sosok inovatif atau pengusaha pangan masa depan.

Padahal, realitas pertanian hari ini sudah mulai berubah. Ada teknologi digital, drone, Internet of Things (IoT), hingga kecerdasan buatan (AI) yang bisa diterapkan di lahan. Namun sayangnya, perubahan ini masih sangat terbatas di kota besar dan komunitas tertentu. Sebagian besar anak muda bahkan tidak tahu bahwa pertanian bisa dilakukan secara urban farming, aquaponik, atau vertikultur di lahan sempit.

Selain soal citra, masalah akses juga krusial. Banyak anak muda tertarik bertani, tapi terbentur mahalnya lahan, sulitnya modal, dan minimnya pelatihan yang aplikatif. Sistem distribusi hasil pertanian pun tidak transparan, harga fluktuatif, dan petani kerap dirugikan oleh tengkulak.

Tanpa dukungan sistemik, anak muda akan terus menjauh dari pertanian. Dan saat generasi terakhir petani pensiun, kita mungkin baru menyadari betapa berharganya profesi yang selama ini kita anggap “biasa saja”.

Tanpa Regenerasi Petani, Keamanan Pangan dan Masa Depan Ekonomi Terancam

Jika krisis regenerasi ini tidak segera ditangani, Indonesia akan menghadapi tantangan serius dalam waktu dekat: krisis pangan. Permintaan pangan akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Namun di sisi lain, produktivitas pertanian stagnan, petani menua, dan lahan menyusut. Tanpa petani baru, siapa yang akan menanam padi? Siapa yang akan memanen cabai, bawang, dan sayur-mayur?

Jawaban yang paling mungkin: impor. Dan saat negara terus bergantung pada impor, maka kita bukan lagi negara agraris yang berdaulat, melainkan negara konsumen yang rentan guncangan global. Ketergantungan pada pangan impor tidak hanya menguras devisa, tapi juga membuat harga domestik tidak stabil. Saat harga global naik atau pasokan terganggu akibat konflik atau bencana iklim, rakyat Indonesia akan langsung merasakan dampaknya.

Lebih jauh, krisis regenerasi petani juga memperlebar jurang kesenjangan wilayah. Desa akan kehilangan tenaga kerja produktif, arus urbanisasi makin deras, dan kota makin padat. Ketimpangan semakin besar, dan pembangunan semakin tidak merata.

Belajar dari Inovasi Pertanian di Negara Berkembang: Vietnam dan Thailand

Kita tidak perlu menebak-nebak solusinya, karena sudah ada negara berkembang yang sukses menghadapi tantangan serupa. Vietnam, misalnya. Negara ini dulu dikenal sebagai salah satu penerima bantuan pangan internasional. Namun kini, Vietnam telah menjelma menjadi salah satu eksportir pertanian terbesar di Asia Tenggara. Mereka berhasil menggabungkan kebijakan pemerintah yang berpihak pada petani, adopsi teknologi tepat guna, dan insentif untuk generasi muda.

Petani muda di Vietnam mendapatkan akses kredit mikro, pendampingan teknis, dan jaminan harga hasil panen. Pemerintahnya mengerti bahwa bertani bukan sekadar aktivitas tradisional, melainkan bagian dari strategi ekonomi nasional. Thailand juga patut dicontoh. Mereka berhasil mengangkat sektor pertanian dari sekadar penyedia bahan mentah menjadi bagian dari rantai nilai global. Mereka mendorong diversifikasi produk, ekspor hasil olahan, hingga pengembangan agro-tourism. Anak-anak muda diajak terlibat sejak awal, tidak hanya sebagai buruh tani, tapi sebagai pelaku usaha agribisnis.

Apa yang bisa kita pelajari dari mereka? Bahwa pertanian modern membutuhkan kebijakan yang progresif dan kolaboratif. Tidak cukup hanya mengandalkan semangat petani. Dibutuhkan ekosistem yang mendorong pertanian sebagai pilihan strategis, bukan pilihan terakhir.

Inovasi dan Kolaborasi Lintas Sektor demi Masa Depan Petani dan Ketahanan Pangan

Masa depan pertanian Indonesia hanya bisa diselamatkan dengan gerakan kolektif. Bukan sekadar program-program seremoni dari kementerian, tapi gerakan nyata yang melibatkan semua pemangku kepentingan: pemerintah, swasta, pendidikan, komunitas, hingga media.

Beberapa langkah konkret yang bisa segera dilakukan:

  • Ubah narasi tentang pertanian. Jadikan petani sebagai bagian dari solusi masa depan. Libatkan media dan influencer untuk menunjukkan sisi modern dan strategis dari bertani.
  • Fasilitasi akses lahan dan modal untuk petani muda. Bentuk skema agribisnis yang adil dan inklusif, termasuk koperasi digital atau pembiayaan lewat crowdfunding.
  • Integrasikan pertanian dalam kurikulum pendidikan. SMK, universitas, dan pelatihan vokasi harus menjadikan pertanian sebagai jurusan unggulan, bukan hanya cadangan.
  • Dorong riset dan adopsi teknologi tepat guna, yang relevan dan bisa diakses oleh petani kecil. Bukan hanya pilot project untuk pameran.
  • Bangun platform pemasaran hasil tani yang efisien dan menguntungkan petani. E-commerce pangan lokal, marketplace hasil panen, hingga koneksi langsung ke pasar ekspor harus dipermudah.

Jika semua pihak mengambil peran, maka pertanian bisa kembali menjadi sektor andalan. Bukan hanya penyelamat saat krisis, tapi sumber pertumbuhan baru yang inklusif, mandiri, dan berkelanjutan.

Kalau Tak Ada yang Mau Menanam, Lalu Siapa yang Akan Memberi Makan?

Pertanian bukan cerita nostalgia. Ia bukan sektor tua yang menunggu mati. Ia justru bisa jadi poros baru ekonomi Indonesia, jika dikelola dengan visi, teknologi, dan keberpihakan. Tapi untuk itu, kita perlu mengubah cara pandang: bahwa bertani bukan hanya pekerjaan mulia, tapi juga strategis. Bahwa regenerasi petani bukan sekadar isu pertanian, tapi soal keamanan nasional, stabilitas ekonomi, dan keberlangsungan hidup. Karena pada akhirnya, kalau semua orang ingin makan, tapi tak ada lagi yang mau bertani, maka yang sedang kita bangun bukan masa depan, melainkan krisis yang tertunda.