Perjanjian Jepara 1677: Runtuhnya Hegemoni Mataram Islam di Jawa

Posted on

Kerajaan Mataram Islam pernah mencapai puncak kejayaan di era kepemimpinan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (1613-1645 Masehi). Pada masa itu, sultan itu berhasil menyatukan Pulau Jawa dan Madura melalui aneksasi.

Tetapi, ia akhirnya harus menyerah pada usia. Ia meninggal pada tahun 1645 M.

Setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645, kekuasaan Mataram Islam diserahkan kepada putra mahkota, Raden Mas Sayidin, yang kemudian mendapatkan gelar Susuhunan Ing Alaga.

Pada tahun 1646, Susuhunan Ing Alaga diangkat sebagai Raja Mataram Islam dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat I).

Situasi di tanah Mataram semakin hari semakin rumit, terutama setelah Perjanjian Jepara 1677 M ditandatangani. Pakta tersebut merupakan pintu masuk Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk mengendalikan bumi Mataram.

Melalui perjanjian Jepara, wilayah Jawa, yang sebelumnya secara penuh berada di bawah kekuasaan Mataram Islam, berbalik arah menjadi di bawah kendali VOC. Kompeni pun berhasil mengubah peta pemerintahan, ekonomi, dan sosial, secara signifikan.

Amangkurat I justru menjalin hubungan akrab. Kisah harmonis antara dua kekuatan besar di Bumi Mataram ini bermula ketika Amangkurat I menandatangani perjanjian perdamaian dengan VOC.

Pada tanggal 24 September 1646, Perjanjian damai antara Amangkurat I dengan VOC ditandatangani. Perjanjian ini terdiri atas 6 pasal yang sebagian besar menguntungkan pihak VOC. Beberapa hal yang disepakati adalah pembebasan tawanan VOC di Mataram, memberikan hak kepada VOC untuk mengatur perjalanan utusannya ke Mataram, mengatur perjalanan ulama Mataram, melakukan perang bersama, serta memberikan izin pelayaran bebas ke Kepulauan Maluku.

Setahun kemudian, pada tahun 1647, Amangkurat I memindahkan pusat pemerintahan Mataram Islam dari Karta ke Plered (sekarang Pleret). Saat ini, Karta termasuk dalam wilayah Dusun Kerto, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mereka merekam peristiwa pindahan keraton ini karena Amangkurat I tidak mau tinggal di tempat yang sama dengan ayahandanya dulu, Sultan Agung, yaitu di Karta. Oleh karena itu, keraton dipindahkan ke Pleret, tempat yang berjarak sekitar 10 km dari Kota Yogyakarta saat ini.

Amangkurat I ingin istana barunya dibangun dari batu bata serta dinding yang mengelilinginya. Arsitektur istana juga diisi dengan danau buatan yang disebut Segarayasa. Akibat dari ambisinya ini, rakyat Mataram Islam diperas dengan kerja paksa dan pajak tinggi. Sejak itu, muncul ketegangan antara Amangkurat I dan putranya mahkota, Raden Mas Rahmat, yang bergelar Adipati Anom.

Faktor perpindahan keraton tidaklah satuan saja, tetapi juga disebabkan oleh isu cinta. Adipati Anom jatuh cinta dengan seorang perempuan bernama Rara Oyi, putri dari Surabaya. Namun, apa yang tidak terduga, Rara Oyi telah diprediksi akan menjadi selir Amangkurat I. Cerita ini berakhir dengan tangan yang tragis, Rara Oyi dipenggal oleh Adipati Anom sendiri atas perintah Amangkurat I.

Perseteruan Amangkurat I tidak hanya dengan Adipati Anom. Gaya kepemimpinan yang represif terhadap rakyat dan ulama serta dekat dengan VOC, ternyata membuat banyak pihak tidak puas. Benih-benih perlawanan akhirnya muncul.

Amangkurat I juga berusaha untuk menghilangkan posisi putra mahkota dengan menunjuk Pangeran Puger sebagai pengganti posisi Adipati Anom. Lihatlah kenyataan bahwa posisi putra mahkota yang terancam, Adipati Anom mencoba memperkuat kekuatan untuk melawan Amangkurat I.

Salah satu tokoh yang berusaha dihubungi adalah Raden Trunojoyo. Tidak tanpa alasan, Adipati Anom mendekati Trunojoyo. Raden Trunojoyo, yang lahir di Sampang, Madura, pada tahun 1649 M, itu, memang sudah dikenal sejak lama tidak mengakui aneksasi Madura yang dilakukan oleh Sultan Agung.

“…. cukup banyak alasan bagi Trunojoyo untuk melakukan perlawanan terhadap Amangkurat I.”

Adipati Anom membuat aliansi dengan Trunojoyo untuk menggulingkan penguasa Mataram Islam. Menawarkan Madura kepada Trunojoyo menjadi upeti yang berharga untuk memuluskan tujuan aliansi tersebut. Persetujuan itu semakin kuat ketika pasukan dari Makassar pimpinan Karaeng Galesong bergabung dalam upaya kudeta tersebut. Pangeran Kajoran dari Surabaya juga mendukung penuh pemberontakan tersebut.

Ditandai pada tahun 1674 M, ketika dirinya menyatakan diri sebagai penguasa Madura dan menggalang kekuatan dari orang-orang Madura hingga berbagai penguasa vasal di Mataram, seperti Surabaya, Banten, dan Cirebon.

Trunojoyo melancarkan serangannya hingga berhasil menaklukkan daerah-daerah di Jawa, dari Tuban, Jawa Timur, hingga pesisir Jawa Tengah, seperti Semarang, Demak, Kudus, dan Pati. Setelah itu, Trunojoyo bersiap melancarkan serangan akhir ke Ibukota Mataram Islam di Pleret.

Melihat kekuatan Trunojoyo yang semakin besar, Adipati Anom, yang awalnya menjadi salah satu pendukung aliansi perlawanan, kini beralih ke pihak Amangkurat I.

Adipati Anom melihat ambisi Trunojoyo tidak cukup hanya ditambah dengan janji Madura. Lebih jauh daripada itu, Trunojoyo juga bisa menjadi Raja Mataram. Hal ini tentu saja mengancam kedudukan Adipati Anom sebagai pewaris takhta Mataram Islam.

Pindahannya Adipati Anom ke pihak Amangkurat I sudah lewat. Kekuatan Trunojoyo berhasil memasuki dan menyerbu Ibu kota Mataram Islam di Pleret. Pusat pemerintahan pun jatuh ke tangan Trunojoyo pada tahun 1677 M.

Pada saat Pleret berada di bawah kekuasaan Trunojoyo, Amangkurat I dan Adipati Anom melarikan diri dari situasi tersebut. Dalam perjalanan pelarian mereka, Amangkurat I meninggal dunia di Tegal Wangi atau Tegal Arum, Jawa Tengah, pada tahun 1677 M. Sebelum meninggal, ia berwasiat kepada Adipati Anom untuk mencari bantuan dari VOC (Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, 1981).

Setelah Amangkurat I meninggal, Adipati Anom naik takhta sebagai penguasa Mataram Islam dengan gelar Amangkurat II. Tidak memiliki tentara, tidak diakui oleh sebagian besar bangsawan Mataram Islam, dan tidak memiliki banyak kekayaan, Amangkurat II dihadapkan pada satu-satunya jalan keluar, yaitu menjalin kesepakatan dengan VOC di Japara (sekarang Jepara).

(bagian timur).

Perjanjian Jepara disepakati oleh Amangkurat II dan VOC di Loji Belanda, Kabupaten Jepara, pada tahun 1677 M.

Leiden: Intituut Kita-Bangsa untuk Ilmu Pengetahuan Bahasa, Negeri, dan Bangsa [KITLV]: 91)

seperti Cirebon dan Priangan.

Langkah awal VOC adalah menunjuk beberapa bupati di Priangan untuk mengamankan monopoli perdagangan, terutama rempah-rempah. Sementara itu, Cirebon sepenuhnya berada di bawah pengaruh VOC setelah beberapa tahun, pasca konflik internal di Kesultanan Cirebon sekitar tahun 1680-an.

Tidak ada teks yang saya dapatkan untuk diolah.

(1976: 77)

Pemerintahan tidak langsung dengan mengangkat bupati-bupati boneka.

Pada sisi pemerintahan, VOC turut mengatur kebijakan internal, baik di Kesultanan Cirebon maupun di Kartasura pada masa kemudian. Suksesi kepemimpinan di kedua kerajaan ini sepenuhnya dikendalikan oleh VOC.

Perjanjian Jepara juga memberikan hak kepada VOC untuk menempatkan pasukan di ibukota Mataram Islam.

VOC memenuhi janjinya. Mereka berhasil menangkap dan menyelesaikan perlawanan Trunojoyo pada 1679. Raden dari Madura itu dieksekusi mati oleh Amangkurat II pada 2 Januari 1680. Selain itu, VOC juga membantu Amangkurat II membangun kembali pusat pemerintahan Mataram Islam.

Pemerintahan Islam Mataram dibangun kembali, namun bukan di Pleret melainkan di Kartasura, Jawa Tengah. Sejak tanggal 11 September 1680, atau bertepatan dengan Rabu Pon, 27 Ruwah, Tahun Alip 1603 menurut kalender Jawa, Amangkurat II menempati Keraton Kartasura Hadiningrat.

Menurut isi Perjanjian Jepara, VOC berhak menempatkan pasukan di ibukota kerajaan. Sebuah garnisun dibangun di depan Keraton Kartasura tepat setahun setelah Amangkurat II menempati keraton tersebut. VOC berdalih, penempatan garnisun hanya untuk melindungi Amangkurat II. Sejak saat itu, mata-mata militer VOC tak pernah melupakannya mengawasi jalannya pemerintahan di Kartasura.

.